Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kemerdekaan

Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, entitas yang saat itu menyebut diri “kami, bangsa Indonesia” sebenarnya baru sebuah harapan—mungkin imajinasi, mungkin juga waham.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Chairil Anwar menulis,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku mau bebas dari segala

Merdeka

Juga dari Ida

 

Ia pasti tahu—atau segera akan tahu—yang dikehendakinya mustahil. Di tengah dunia yang menyimpan endapan sejarah, seorang penyair paling liar pun tak akan bisa “bebas dari segala”.

Katakanlah ia tak percaya kepada suratan nasib, tak peduli kepada norma di sekeliling. Tapi tetap: ia berkutat dalam “penjara bahasa” untuk memakai istilah Fredric Jameson—meskipun bahasa itu juga yang membantunya menyatakan diri. Dalam bahasa, ia terpaut dengan orang lain, yang ikut membentuk percakapan. Ia tak sepenuhnya leluasa, sendirian, tak terikat kesepakatan.

Tapi teriak Chairil sungguh teriak yang merdeka. Ketika ia menyatakan kehendaknya dengan sepenuh hati, “aku mau bebas...”, ia mengutarakannya dengan dan dalam jiwa yang bebas. Di momen itu, kemerdekaan sesuatu yang aktual. Ia tak dikendalikan atau dibatasi nisbah tertentu.

Kita bisa membuat analoginya dengan proklamasi kemerdekaan. Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, entitas yang saat itu menyebut diri “kami, bangsa Indonesia” sebenarnya baru sebuah harapan—mungkin imajinasi, mungkin juga waham. “Kami...” yang menyatakan kemerdekaan diri saat itu mengasumsikan sedang berbicara dengan orang lain: proklamasi itu dinyatakan dengan anggapan ada orang lain yang akan mendengarkan dan menyahut—meskipun asumsi ini sesungguhnya tak punya dasar yang kokoh. Pada 17 Agustus 1945 itu “bangsa Indonesia” bukan sebuah pengertian yang jelas; kata-kata itu bagian retorika, bukan sebuah konsep. Banyak yang belum tahu ada entitas yang menyebut diri “bangsa Indonesia”.

Sebab di pagi 17 Agustus 1945, pasukan Jepang yang bersenjata masih berjaga di Jakarta, bersama kantor administrasi pemerintahannya. Nun jauh di Den Haag, Kerajaan Belanda masih menganggap wilayah ini “Hindia Belanda”, miliknya. Tak jelas pula kepulauan ini punya dasar hukum apa dan kekuatan ekonomi yang bagaimana untuk bisa disebut “merdeka”.

Tapi di hari itu semua itu tak menentukan, ketika sebuah entitas—“bangsa Indonesia”—melihat dirinya “bebas dari segala”: sebuah loncatan dengan berani ke Entah, sebuah proyeksi yang dengan pasti menembus ke dalam jaring-jaring ketidakpastian.

Kemerdekaan yang dikumandangkan itu mungkin bukan sesuatu yang benar, tapi aktual: bukan hanya kemungkinan atau keinginan atau angan-angan. Proklamasi itu melahirkan subyek, “kami”. Militansi dan semangat hari itu mewujudkannya.

Nanti, setelah euforia proklamasi usai, setelah pekik “merdeka” disambung perjalanan sejarah, berangsur-angsur disadari bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang nisbi dan contingent. Ia serba mungkin, bisa meyakinkan atau sebaliknya membuat bimbang, bergantung pada keadaan. Ia lipatan-lipatan probabilitas. Ia menyimpan anasir yang tak menjamin stabilitasnya sendiri. Subyek yang semula solid pun mulai mencair.

Tapi tidak di pagi itu.

Pagi itu adalah contoh, kemerdekaan manusia bukanlah sebuah “kondisi” obyektif. Kemerdekaan adalah sebuah keputusan—tepatnya: keputusan bertindak.

Orang memang bisa mengatakan kebebasan itu—dan kehendak bebas manusia pada umumnya—hanya semacam ilusi. Noah Harari, pengarang Homo Deus, misalnya mengatakan, “Kehendak bebas itu dongeng yang diwariskan theologi Kristen.” Kehendak bebas bukanlah “sebuah realitas ilmiah”. Sains tak mengakui itu.

“Manusia tentu punya kehendak,” kata Harari dalam esainya yang dimuat The Guardian, 14 September 2018, “tapi tidak bebas.” Manusia memilih, tapi pilihan itu tergantung kondisi biologis, sosial, dan personal “yang tak bisa kita tentukan sendiri”. Saya dapat memilih dengan siapa saya menikah dan siapa yang akan saya pilih dalam pilkada, tapi, kata Harari, “Pilihan ini ditentukan sebagian oleh gen saya, biokemistri saya, gender saya, latar keluarga saya, kebudayaan bangsa saya, dan seterusnya—sementara saya tak memilih gen dan keluarga saya.”

Harari hanya separuh benar. Tak bisa dipastikan keyakinan akan kehendak bebas manusia datang dari theologi Kristen. Umumnya ajaran agama tak menegaskan kemerdekaan itu. Justru bisa sebaliknya: dalam Islam, para pengikut aliran Jabariyah menolak adanya kehendak bebas pada manusia, sebab semua sudah ditakdirkan Tuhan. Harari benar, manusia tak punya kehendak bebas jika perilakunya dianalisis—jika ia dilihat sebagai obyek penelaahan. Tapi saat Bung Karno menyuarakan tekad kemerdekaan dari kungkungan kolonial, saat Chairil menyerukan keinginannya untuk bebas, kehendak mereka, bagi mereka, bukan produk neurologi atau biokemistri, bukan pula hasil sebuah evolusi.

“Kemauan bebas bukan sebuah realitas ilmiah,” kata Harari, tapi tak setiap hal harus merupakan “realitas ilmiah” untuk menjadi aktual. Ketika orang melawan penindasan—“melawan Inkuisisi Gereja, hak ketuhanan para raja, KGB, dan KKK” (Harari menyebut semua itu)—mereka menjadikan dan memproyeksikan diri sebagai manusia yang merdeka.

Mithos?

Mithos bisa mengubah sejarah, sebagaimana ia menghasilkan puisi dan ilmu. Dan kita tak berkeberatan memperjuangkan dan merawatnya.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus