Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Perdagangan harus segera menghentikan berbagai pengecualian dalam kebijakan impor baja untuk proyek konstruksi milik pemerintah. Longgarnya persyaratan impor baja terbukti lebih banyak mudaratnya ketimbang memberikan manfaat bagi negara. Baja yang tidak sesuai dengan peruntukan dan merembes ke pasar domestik akan makin membuat industri baja nasional tertekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinyalemen bocornya baja impor untuk proyek pemerintah bukan isapan jempol belaka. Pada akhir Februari lalu, Bea dan Cukai sempat menahan puluhan kontainer berisi besi dan baja impor milik sejumlah perusahaan. Berbekal surat dari Kementerian Perdagangan, besi dan baja impor itu memperoleh pengecualian. Dengan dalih digunakan untuk proyek nasional, besi dan baja yang masuk ke wilayah Indonesia itu tidak membutuhkan persetujuan impor. Masuknya baja tersebut juga tanpa perlu melalui pemeriksaan surveyor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, proyek-proyek itu sudah lama selesai. Salah satu proyek yang dijadikan kedok adalah pembangunan jalan dan jembatan tol Solo-Kertosono segmen II. Proyek ini sudah rampung sejak Januari 2018. Tapi anehnya, dua tahun kemudian, PT Jaya Arya Kemuning meminta agar impor besi dan baja yang mereka lakukan tetap mendapat pengecualian. Surat perjanjian kerja sama pengadaan barang tahun 2016 antara Jaya Arya Kemuning dan Waskita Karya, sebagai pemilik proyek jalan tol, dijadikan rujukan. Dengan pengecualian itu, importir dibebaskan dari semua aturan main mengenai impor baja, seperti tertera pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2020.
Muncul pertanyaan mengapa Kementerian Perdagangan tetap memberikan pengecualian impor baja untuk proyek konstruksi yang sudah selesai? Sulit untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada permainan dari kebijakan importisasi tersebut. Tanpa bantuan pejabat di kementerian, para pengusaha tidak mungkin bisa bermain untuk memperoleh berbagai keistimewaan. Apalagi pembangunan jalan tol Solo-Kertosono bukan satu-satunya proyek yang dijadikan tameng untuk memperoleh pengecualian.
Dengan modus serupa, importir lain, seperti PT Duta Sari Sejahtera dan PT Prasasti Metal Utama, menggunakan surat pengecualian dari Kementerian Perdagangan untuk periode impor 2019-2020. Duta Sari adalah pemasok material konstruksi untuk proyek jalan tol Batang-Semarang, sementara Prasasti Utama terlibat dalam proyek banjir kali Semarang. Dua proyek ini sudah diresmikan pada Desember 2018 dan Juni 2019. Kegiatan impor yang berlangsung setelah proyek selesai menguatkan sinyalemen bahwa baja dan produk turunannya itu sengaja dijual untuk pasar domestik. Ini yang membuat industri baja lokal sempoyongan.
Pemerintah sebenarnya mewajibkan penggunaan baja lokal untuk proyek infrastruktur. Sejumlah menteri bahkan kerap gembar-gembor bahwa pemakaian baja lokal harus memperoleh prioritas. Sayangnya, perlindungan kepada industri strategis ini masih setengah hati. Pemerintah tidak konsisten memberlakukan kebijakan tersebut karena masih menyisakan pengecualian untuk baja impor yang dialokasikan buat proyek negara.
Dualisme kebijakan itulah yang justru membuka celah permainan dan melahirkan para pemburu rente. Dengan memiliki akses terhadap informasi dan kekuasaan, mereka menunggangi kekacauan dan keruwetan pengaturan impor. Aksi lancung ini membuat ekonomi tidak efisien. Ongkos yang menjadi beban industri ini pada akhirnya merugikan perekonomian nasional.
Pemerintah harus segera menertibkan baja impor berkedok proyek negara. Berbagai pelonggaran impor untuk proyek konstruksi milik pemerintah sebaiknya dihapus dari tata niaga baja. Tanpa itu semua, baja impor akan membuat produsen baja lokal sekarat saat pemerintah tengah getol membangun infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo