Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKACAUAN pengadaan satelit geostasioner untuk slot orbit strategis di 123 derajat Bujur Timur (BT) sekali lagi memperlihatkan bobroknya tata kelola pemerintah. Kepentingan publik yang lebih besar malah dikesampingkan akibat lobi dan kongkalikong. Selain terancam membayar denda ratusan miliar rupiah, Indonesia bisa kehilangan hak atas lintasan satelit yang amat bernilai.
Orbit 123 derajat BT adalah sumber kekayaan alam terbatas milik Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa—kira-kira di atas Pulau Sulawesi—pada ketinggian 36 ribu kilometer. Lintasan ini cocok untuk satelit kategori L-band, yang memungkinkan implementasi sistem komunikasi prima dengan jangkauan luas.
Masalahnya, kini kita terancam kehilangan slot orbit strategis itu. PT Dini Nusa Kusuma (DNK), perusahaan yang ditunjuk pemerintah sebagai pemegang hak kelola, belum juga meluncurkan satelit mereka sejak memenangi tender lisensi pada 2018. Jika sampai November 2024 satelit kita tak juga mengangkasa, International Telecommunication Union (ITU)—organisasi global yang menata pemanfaatan wilayah angkasa untuk komunikasi—akan mengalihkan hak pemakaian slot itu kepada negara lain. Tenggat 2024 itu pun sebenarnya sudah terlambat. Semula, ITU meminta satelit Indonesia sudah mengorbit pada November tahun lalu.
Mengisi slot orbit seharusnya perkara sederhana. Pemerintah cuma perlu melakukan tender terbuka dan memilih calon yang kredibel. Terlebih pengelolaan proyek ini diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Sebagai contoh, ketika peluncuran satelit Nusantara 2 milik Indosat gagal pada April tahun lalu, pemerintah dengan cepat menggaet Telkom untuk mengisi slot 113 derajat BT yang kosong setelah ditinggalkan satelit Palapa D. Jika dilakukan dengan benar dan transparan, tender seharusnya dimenangi perusahaan yang paling bonafide dan profesional. Persoalannya, “benar dan transparan” tak tampak sama sekali dalam proses pengadaan satelit untuk orbit 123 derajat BT ini.
Kisruh ini bermula ketika Kementerian Pertahanan merencanakan pengadaan satelit komunikasi pertahanan pada 2013. Tanpa ada kepastian anggaran, Kementerian buru-buru mengikat kontrak dengan konsorsium Airbus Defense and Space untuk proyek ambisius senilai US$ 849,3 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Targetnya ketika itu satelit sudah berada di orbit pada November 2019. Agar slot orbit terisi, untuk sementara Kementerian lalu menyewa satelit Artemis milik Avianti Communication Limited, Inggris.
Belakangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolak membiayai pengadaan proyek satelit ini, yang diajukan ke anggaran senilai US$ 669 juta atau sekitar Rp 10 triliun. Selain nilainya mahal, teknologi satelit untuk komunikasi memang kian tertinggal dibanding teknologi serat optik. Pemerintah lalu memutuskan proyek diserahkan kepada pihak swasta.
Di titik inilah lobi dan kongkalikong bermula. PT Dini Nusa Kusuma disebut-sebut melobi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ketika itu, Wiranto, untuk mendapatkan hak kelola slot orbit dan pengadaan satelit. Padahal perusahaan itu belum punya kemampuan finansial untuk mendanai proyek sebesar ini. Walhasil, setelah tiga tahun menenteng izin dari pemerintah, PT DNK masih belum mendapatkan investor. Tenggat penyetoran bukti dana yang diminta pemerintah berkali-kali dilanggar.
Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap. Jika dibiarkan berlarut-larut, lintasan berharga orbit 123 derajat BT bisa jatuh ke negara lain. Apalagi ada putusan arbitrase internasional yang mendenda pemerintah akibat tak menepati kontrak sewa pakai satelit Artemis, yang belum dibayar hingga sekarang. Jumlahnya mencapai US$ 20 juta atau hampir Rp 300 miliar. Ketika menang tender hak kelola orbit 123 derajat BT, PT DNK berjanji melunasi tunggakan itu.
Selain itu, proses tender dan pengalihan proyek satelit komunikasi pertahanan ini kepada DNK mesti ditelusuri lebih jauh. Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga penegak hukum lain perlu mengkaji kasus ini. Mereka harus memastikan tidak ada penyelenggara negara yang menerima suap atau sogokan. Banyak pertanyaan seputar penunjukan PT DNK yang harus dijawab pemerintah.
Meski terletak nun jauh di luar angkasa, slot orbit satelit adalah sumber kekayaan alam terbatas yang harus dikelola negara. Artinya, sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, manfaat dari penggunaan semua sumber daya alam harus kembali kepada orang banyak. Pemerintah masih punya waktu untuk mengurai kisruh proyek ini. Jangan sampai keuntungan dari pemakaian slot orbit strategis ini hanya dinikmati segelintir orang yang punya koneksi atau malah melayang lenyap karena wanprestasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo