Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Pelarangan Jilbab Era Soeharto

TEMPO DOELOE | 22 OKTOBER 1988

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelarangan Jilbab Era Soeharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT keputusan bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, serta Menteri Dalam Negeri yang diteken pada awal Februari lalu mewajibkan setiap kepala daerah mencabut aturan tentang pemakaian seragam serta atribut keagamaan di sekolah. Keputusan itu dibuat setelah terdapat sekolah menengah kejuruan negeri di Padang, Sumatera Barat, yang mewajibkan semua siswa, termasuk nonmuslim, mengenakan jilbab di sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski begitu, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jumeri, SKB tiga menteri tersebut tidak melarang peserta didik memakai jilbab ataupun kalung salib sebagai identitas agamanya. “Jadi baik sekolah maupun daerah tidak boleh mewajibkan, tapi juga tidak boleh melarang,” ujar Jumeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lain sekarang lain era Soeharto. Di zaman Orde Baru, justru pemerintah Soeharto melarang setiap siswa mengenakan atribut keagamaan, termasuk jilbab, di sekolah. Bagi siswi yang ngeyel, seperti tertulis dalam majalah Tempo edisi 22 Oktober 1988 berjudul “Karena Mereka Berjilbab”, berbagai diskriminasi mereka peroleh di sekolah.

Perkara boleh-tidaknya murid berjilbab, terutama di sekolah negeri, muncul lagi di permukaan. Soal jilbab ini, yang pernah ramai empat tahun lalu, memang ditangani dengan sangat hati-hati oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pendekatan yang dilakukan lebih banyak “musyawarah yang mendidik”, sementara ketentuan seragam sekolah harus tetap dilaksanakan. 

Di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor, Jawa Barat, pendekatan terhadap murid yang masih berjilbab tak bisa selesai dengan musyawarah. Malah kasus ini akan dibawa ke pengadilan. Dua pekan lalu, empat murid di sekolah itu memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Bogor lewat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Yang digugat kepala sekolah itu, Ngatijo. 

Awalnya, seperti halnya di semua sekolah negeri, menjelang tahun ajaran dimulai, kepala sekolah menyerahkan peraturan sekolah kepada murid-muridnya tentang berbagai hal, antara lain, pakaian seragam. Nah, ternyata ada 26 pelajar putri di sekolah itu yang mengenakan jilbab.

Ngatijo lalu melayangkan surat kepada para orang tua murid itu. Isinya: “Dengan menyesal kami beritahukan kepada Bapak/Ibu/Saudara bahwa putrinya telah melanggar ketentuan yang telah digariskan oleh sekolah (yaitu berkerudung). Oleh karena itu melalui surat ini kami telah mencoret nama siswa tersebut diabsen sebagai siswa yang tidak hadir”. Setelah menerima surat itu, 17 anak memilih berkompromi. Mereka melepas jilbabnya jika berada di lingkungan sekolah. 

Dua anak memilih pindah sekolah. Yang lain tetap berjilbab ke sekolah. Mereka yang masih berjilbab ini merasa diperlakukan tidak adil. Mereka tidak dikeluarkan dari sekolah. Mereka tetap mengikuti pelajaran, tapi tidak diabsen. Pekerjaan rumah dan praktikum di laboratorium yang dikerjakan murid ini pun tidak diperiksa gurunya. “Jelas, ini tindakan yang tidak manusiawi,” kata Ida Nurhaida, 18 tahun, siswi kelas II jurusan biologi, satu dari empat pelajar penggugat. 

Teman Ida, Hepti Mulyati Hakim, 17 tahun, mengaku hampir setiap hari dipanggil ke kantor sekolah dan diminta meninggalkan jilbabnya. Tapi ia tetap bertahan. Akibatnya, “Ulangan-ulangan saya tidak dinilai. Kasarnya, saya ini sama saja tidak sekolah di situ,” ucap pelajar kelas I tersebut. 

Karena tak tahan dengan perlakuan seperti itu, empat siswi, Nur Farhanah, Tika Ryanti Sukmana, Ida Nurhaida, dan Ranti Aryani, mengadu ke LBH. Aduan itu disampaikan, menurut Ida, karena cara musyawarah yang mereka usahakan tidak berhasil.

Sebelum membawa perkara ke pengadilan, LBH berusaha menempuh jalan musyawarah. “Tapi Ngatijo tetap bertahan dengan pendapatnya,” tutur Rudjito dari LBH. Ngatijo mengelak diwawancarai dengan alasan persoalan sudah diserahkan kepada Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat. Kepala Kanwil P dan K Jawa Barat Tating Kartadinata menyesalkan kebijakan yang ditempuh Kepala SMAN 1 Bogor. 

Gugatan memang sudah masuk ke Pengadilan Negeri Bogor, 4 Oktober lalu. Keempat siswi itu mengajukan permintaan ganti rugi Rp 100 juta. Sasaran yang dicapai memang bukan uang. “Yang penting siswi-siswi itu diizinkan menjadi warga SMAN 1 seperti semula dan tidak mengalami perlakuan yang berbeda dengan siswi lain,” ujar Rudjito.

Masalah kerudung pernah menjadi isu nasional menginjak tahun ajaran 1984/1985. Ketika itu, sejumlah siswi sekolah menengah di Bandung dan Jakarta terpaksa pindah ke sekolah swasta yang membebaskan pemakaian jilbab. “Mereka melanggar tata tertib sekolah,” kata Dardji Darmodihardjo, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P dan K ketika itu.

Pedoman pakaian seragam sekolah untuk siswa taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas diterbitkan pada 1982 melalui surat keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Alasannya: menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, memperkecil adanya diskriminasi yang disebabkan oleh keanekaragaman pakaian, serta memperkecil perbedaan status sosial tempat siswa berasal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus