Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK awal Jokowi sudah salah langkah: mengangkat staf khusus kepresidenan dari generasi milenial tanpa deskripsi pekerjaan yang jelas. Jika memang hendak mendengarkan suara anak muda, ia bisa mengundang secara berkala tanpa secara organik menarik mereka ke Istana. Pengangkatan tujuh anggota staf khusus generasi muda itu menggemukkan birokrasi. Duduk di jabatan eselon I, mereka dilengkapi pejabat eselon II dan eselon III serta perangkat birokrasi dengan pelbagai fasilitas—kantor, sekretaris, sopir, pelayan, mobil dinas, dan rumah dinas. Jokowi tak menepati janji kampanyenya sendiri untuk membentuk pemerintahan yang singset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu kita tahu persoalannya bukan sekadar kegenitan Presiden untuk didampingi anak-anak muda. Mundurnya dua anggota staf khusus merupakan klimaks dari persoalan yang lebih esensial: konflik kepentingan.
Awalnya adalah Adamas Belva Syah Devara. Pendiri PT Ruang Raya Indonesia ini mundur dari jabatannya setelah menjadi omongan orang banyak. PT Ruang Raya merupakan startup teknologi yang ditunjuk pemerintah menjadi mitra dalam program kartu prakerja. Ruangguru, demikian perusahaan Belva lebih dikenal, menjadi salahsatu penyedia kursus online dalam proyek senilai Rp 5,6 triliun --dari total anggaran Rp 20 triliun-- tanpa proses lelang. Meski Belva mundur dari staf khusus, Ruangguru tidak mundur dari proyek yang diperolehnya.
Pembelaan Belva bahwa sebagai anggota staf khusus dia tak terlibat dalam pengambilan keputusan program pelatihan prakerja menunjukkan pengetahuannya yang rendah perihal tata kelola pemerintahan yang baik. Konflik kepentingan terjadi ketika seorang pejabat publik merangkap sebagai penerima proyek—meski jabatan yang disandangnya tidak terkait langsung dengan proyek yang dijalankan.
Berikutnya adalah Andi Taufan Garuda Putra. Anggota staf khusus ini juga mundur setelah menerbitkan surat resmi meminta dukungan para camat membantu perusahaan miliknya mensosialisasi bahaya virus corona. Andi adalah Direktur Utama PT Amartha Mikro Fintek, perusahaan yang mengerjakan proyek sosialisasi Covid-19 dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Sebagai anggota staf khusus, Andi bertugas memberikan masukan, saran, dan pertimbangan kepada Presiden. Penerbitan surat langsung kepada para camat jelas melangkahi wewenang Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan kepala daerah. Presiden telah menunjuk Kepala BNPB selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sekaligus memerintahkan para kepala daerah sebagai ketua gugus tugas di daerah. Lebih dari persoalan keteledoran birokrasi, surat Andi dan keterlibatan perusahaannya dalam proyek pemerintah merupakan bentuk telanjang dari konflik kepentingan pejabat negara.
Apa yang terjadi dengan staf khusus sebetulnya bukan satu-satunya contoh. Di luar itu, ada keterlibatan Pandu Patria Sjahrir, keponakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pandu adalah orang yang membawa pemilik SoftBank, Jepang, Masayoshi Son, bertemu dengan Presiden Jokowi untuk mendanai proyek ibu kota baru di Kalimantan Timur. Selain punya hubungan keluarga, Pandu merupakan Direktur PT Toba Bara Sejahtra, perusahaan milik Luhut.
Hubungan darah yang berkelindan dengan kepentingan bisnis dan politik ini memperburuk wajah pemerintah. Presiden selayaknya menertibkan praktik perkoncoan semacam ini—setelah ia memperbaiki pemahamannya tentang pentingnya akuntabilitas dalam praktik bernegara.
CATATAN KOREKSI:
Satu bagian dari artikel ini dikoreksi pada Ahad 26 April 2020 untuk memperbaiki akurasinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo