Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISA masa jabatan Marsekal Hadi Tjahjanto hendaknya dimanfaatkan Presiden Joko Widodo untuk secara matang memilih Panglima Tentara Nasional Indonesia. Siapa pun calon yang diajukan Jokowi, ia harus mampu mengembalikan marwah tentara. Panglima TNI berikutnya tidak boleh berpolitik praktis atau menjadi alat politik pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi memiliki tiga kepala staf yang berpotensi menggantikan Hadi. Meski Hadi baru lengser awal November mendatang, gelagat persaingan—terutama antara Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono—kian terlihat. Andika dipromosikan mertuanya, Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara. Adapun Yudo telah bersafari ke para senior TNI—langkah yang bisa dibaca sebagai permintaan dukungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para calon boleh-boleh saja bermanuver untuk meraih tongkat komando tertinggi TNI. Namun hendaknya persaingan tersebut dilakukan untuk membenahi institusi, bukan buat mengejar ambisi politik, misalnya maju dalam pemilihan presiden. Jika yang terakhir yang dilakukan, korps baju loreng akan terperosok dalam kepentingan politik jangka pendek.
Jokowi sebaiknya tidak memilih Panglima TNI berdasarkan kedekatan semata, apalagi sebagai balas jasa terhadap dukungan politik yang diberikan selama pemilihan umum atau setelah dia terpilih. Politik balas budi hampir selalu mengabaikan faktor integritas dan kapabilitas calon yang dipilih—seperti terlihat dalam penunjukan banyak komisaris badan usaha milik negara. Kecuali sekadar menyenangkan calon yang ditunjuk, bagi-bagi jabatan tidak membawa manfaat untuk kepentingan publik dan organisasi.
Demi kebaikan TNI, rekam jejak calon pengganti Hadi harus menjadi dasar pertimbangan. Panglima baru harus profesional dan teruji serta mampu membawa organisasi kembali ke relnya sebagai alat negara. Upaya menyeret TNI ke arah politik praktis terlihat saat Gatot Nurmantyo menjabat panglima. Alih-alih bersikap netral, untuk mencapai tujuan politiknya, Gatot mendekati kelompok Islam yang kerap menyerang pemerintah.
Hadi Tjahjanto pun tak mampu memperbaiki keadaan. Ia justru membiarkan, untuk tidak menyebut mendukung, politik praktis TNI. Dalam pemilu dan sejumlah pemilihan kepala daerah, kuat ditengarai ia membiarkan TNI mendukung calon tertentu. Tentara pun masih menjadi alat pukul pemerintah terhadap masyarakat dalam berbagai konflik lahan dan penggusuran—tugas yang sebenarnya cukup diselesaikan Polisi Pamong Praja dan kepolisian. Belum lagi keterlibatan TNI dalam pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Di luar itu, kerap pula dikeluhkan pengelolaan anggaran TNI yang tidak transparan dan berantakan.
Tentara adalah alat pertahanan dan bukan alat politik pemerintah. Masuknya militer ke dunia politik pada masa Orde Baru telah merusak demokrasi Indonesia. Itulah sebabnya reformasi 1998 mengamanatkan tentara tak lagi ikut urusan politik. Bahkan jabatan Menteri Pertahanan sejak reformasi diampu oleh pejabat sipil. Di era Jokowi, hal-hal prinsip dasar itu dirusak: Prabowo Subianto yang berlatar militer diangkat sebagai Menteri Pertahanan untuk memenuhi kebutuhan politik keseimbangan.
Panglima TNI adalah jabatan strategis bagi pemerintah untuk menjalankan reformasi di tubuh tentara. Memilih calon yang tepat dan berkomitmen akan membuat agenda itu berjalan baik. Sebaliknya, calon yang lancung akan membuat agenda itu jauh panggang dari api.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo