Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Déjà Vu Kadin Orde Baru

Pemilihan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia bakal menentukan kiblat pengusaha dalam pemilihan presiden 2024. Ada upaya mengembalikan peran Kadin seperti era Soeharto.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Déjà Vu Kadin Orde Baru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK penting benar siapa yang akan memenangi pemilihan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam kongres akhir Juni nanti di Kendari, Sulawesi Tenggara. Campur tangan pemerintah dalam persaingan di antara dua calon, Anindya Bakrie dan Arsjad Rasjid, membuktikan makin kuatnya peran dan pengaruh Kadin—dalam pengertian yang buruk—di era Joko Widodo ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kadin didorong kembali menjadi alat penguasa. Organisasi itu berhasrat kembali ke era ketika hanya ada satu organisasi tunggal untuk semua asosiasi dan perhimpunan, termasuk untuk pengusaha. Organisasi saudagar yang sehat justru harus berjarak dari pemerintah dan tak mengemis fasilitas atau akses bisnis dari penguasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelagat buruk kembalinya peran Kadin seperti era Orde Baru ini terungkap dari sejumlah kebijakan pemerintah. Salah satunya penegasan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang berulang kali mengungkapkan kini ada kewajiban investor menggandeng pengusaha mikro, kecil, dan menengah lokal yang direkomendasikan oleh Kadin. Penegasan itu juga diulangi para pentolan Kadin dalam berbagai kesempatan.

Ketentuan soal itu diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menguatnya peran Kadin sebagai mitra strategis pemerintah ini dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987. Peraturan itu memang menegaskan keberadaan Kadin sebagai satu-satunya organisasi pengusaha yang diakui pemerintah.

Tampaknya banyak orang lupa bahwa undang-undang yang terakhir itu dibuat pada masa keemasan Orde Baru. Ketika itu, rezim Soeharto sedang getol-getolnya mengkooptasi dan mengendalikan semua elemen kelas menengah yang berpotensi kritis. Bukan hanya pengusaha, organisasi wartawan, pengacara, hingga buruh juga dipaksa jadi satu. Terbukti, setelah Orde Baru tamat pada 1998, peran Kadin meredup. Ketua umumnya tak lagi disahkan dengan keputusan presiden seperti masa-masa sebelumnya. Sejumlah organisasi pengusaha lain muncul dan berbagi peran.

Pada masa Presiden Joko Widodo, Kadin seperti mendapat angin baru. Pucuk pimpinan perhimpunan pengusaha ini mulai sering diajak bicara soal kebijakan pemerintah. Bahkan Ketua Umum Kadin saat ini, Rosan Roeslani, aktif dalam pembahasan undang-undang omnibus law di Kementerian Koordinator Perekonomian. Walhasil, berbagai agenda titipan pengusaha—dari soal pencoretan limbah batu bara dari daftar barang beracun dan berbahaya hingga perpanjangan izin pertambangan mineral dan batu bara—bisa digolkan.

Jika tren ini dibiarkan berlanjut, pertumbuhan dan kesehatan ekonomi nasional menjadi taruhannya. Pengusaha kecil dan menengah yang dibesarkan dengan strategi afirmatif tak akan punya daya saing. Mereka yang dininabobokan oleh proteksi cuma bakal menjadi macan kertas di tengah kompetisi global. Produktivitas dan efisiensi ekonomi kita pun tak bakal bisa sejajar dengan negara lain. Apalagi jika ada indikasi kebijakan afirmatif ala Kadin ini bias kepada pengusaha yang tak kritis terhadap penguasa.

Selain itu, skema investasi yang digadang-gadang Kadin ini bisa membuat para investor asing berpikir dua kali sebelum menanamkan uangnya di Indonesia. Niat Presiden Jokowi menarik dana investasi sebesar-besarnya pada periode terakhir pemerintahannya terancam berantakan. Meskipun Jokowi sudah mewanti-wanti skema ini harus tetap menguntungkan investor, para pemilik dana asing pasti enggan jika pagi-pagi sudah dihadang berbagai kewajiban yang memberatkan. Kalaupun ada investor yang nekat masuk, berbagai beban ini pasti membuat kontribusi setiap dolar yang mereka tanam pada pertumbuhan ekonomi terdiskon luar biasa.

Menguatnya peran lobi Kadin yang disokong penguasa juga berpotensi memperparah ekonomi rente di banyak sektor. Ketika pengusaha dan penguasa dibiarkan bersama-sama merumuskan regulasi, tak sulit menebak siapa pihak yang paling diuntungkan. Apalagi jika prosesnya sengaja dibuat tidak transparan dan akuntabel.

Salah satu misi besar gerakan Reformasi 1998 adalah menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saat ini pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi membuat gerakan antikorupsi mundur dengan signifikan. Nepotisme via politik dinasti pun sudah kembali merajalela dengan terpilihnya anak dan menantu Presiden menjadi Wali Kota Solo dan Medan. Kini, dengan kembalinya peran Kadin, peluang munculnya kolusi dan kronisme dalam pembangunan ekonomi terkuak lebar. Perlahan tapi pasti, Indonesia mundur ke masa lalu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus