Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pelarangan FPI Bukan Solusi

Pelarangan aktivitas Front Pembela Islam tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada desain politik kebudayaan.

9 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelarangan FPI Bukan Solusi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH semestinya tidak mengambil jalan pintas untuk menghentikan aktivitas Front Pembela Islam. Selain tak akan menyelesaikan masalah, pelarangan segala aktivitas serta penggunaan atribut FPI jelas menabrak konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas melindungi kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat di muka umum. Pikiran, ideologi, atau gagasan tidak bisa diadili atau dipersekusi. Sejarah sudah menunjukkan bagaimana pembungkaman terhadap satu ide tak pernah berhasil menghapusnya secara permanen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itulah keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang memungkinkan pembubaran organisasi tanpa proses pengadilan, sejak awal bermasalah. Penggunaan aturan yang kontroversial itu sebagai pijakan pelarangan FPI justru menambah keruwetan.

Tak bisa dimungkiri, ada banyak kelompok masyarakat yang dirugikan oleh tindak tanduk FPI. Pernyataan pentolan FPI, Rizieq Syihab, di muka umum penuh dengan ujaran kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan. Sejumlah anggotanya juga terindikasi terlibat terorisme. Jika bukti-bukti pelanggaran pidana sudah demikian jelas terpampang di depan mata, mengapa pemerintah tak memilih jalur peradilan? Langkah semacam itu jauh lebih mendidik khalayak ramai soal pentingnya supremasi hukum.

Pertanyaan besar yang sekarang mengemuka adalah sejauh mana efektivitas pelarangan kegiatan dan atribut FPI. Apakah membekukan semua rekening bank FPI bisa meredam aspirasi politik mereka, yang menuntut formalisasi syariat Islam? Apakah ekstremisme Islam bisa diatasi dengan hilangnya konten FPI di media sosial? Belum lewat sebulan, beberapa pemimpin FPI sudah berencana mendeklarasikan organisasi baru dengan nama mirip. Pemerintah tentu bisa saja menolak pendaftaran organisasi baru ini dan kembali melarang aktivitasnya, tapi itu tentu tak menjawab esensi persoalan.

Mereka yang mendukung pelarangan FPI menilai ikhtiar itu adalah upaya menjaga ketertiban umum dan mengembalikan toleransi beragama. Dengan logika itu, indikator keberhasilan kebijakan ini tentu adalah kembalinya kerukunan antarumat beragama dan menguatnya kebebasan sipil. Masalahnya, ada paradoks besar ketika kebebasan masyarakat sipil hendak dilindungi dengan kebijakan yang justru mengancam kebebasan itu sendiri.

Sejumlah riset telah menunjukkan besarnya dukungan kaum muda dan kelompok menengah ke bawah di perkotaan kepada FPI sebagian berpangkal pada masalah ekonomi. Anak-anak muda yang menganggur dan terimpit kebutuhan hidup sehari-hari tergiur oleh ekstremisme agama yang disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Para pemimpin FPI menghimpun massa dengan menawarkan cara pandang yang hitam-putih dalam melihat siapa kawan dan siapa lawan. Populisme agama biasanya memang menguat ketika ada ketidakpuasan dalam masyarakat.

Melarang aktivitas FPI pada dasarnya sama seperti burung unta yang memilih menyembunyikan kepalanya di dalam pasir ketika badai gurun melanda. Masalah yang berkecamuk seolah-olah lenyap, padahal sebenarnya masih ada. Kelompok masyarakat yang tak puas atas kebijakan pemerintah atau merasa aspirasinya tak terwakili dalam sistem politik yang ada akan terus mencoba mencari cara berekspresi. Potensi mereka terseret ke dalam kelompok teroris malah justru makin besar.

Pemerintah selalu mengaku mengambil kebijakan berdasarkan riset dan bukti yang memadai. Tanpa desain politik kebudayaan yang tepat untuk menjawab menguatnya aspirasi kelompok-kelompok Islam garis keras, keputusan pelarangan aktivitas FPI terasa dangkal dan berdimensi jangka pendek.

Apalagi kebijakan itu disusul dengan sejumlah tindakan pemerintah membatasi aktivitas FPI di media sosial, pencopotan atribut FPI di muka umum, dan pembekuan rekening bank. Puncaknya adalah penerbitan maklumat Kepala Kepolisian RI yang meminta masyarakat tidak menyebarluaskan konten mengenai FPI di Internet. Pengumuman itu sarat dengan kekeliruan mendasar, secara legal, formal, dan sosial. Selain tak punya dasar hukum dan isinya melawan pasal 28F konstitusi, maklumat Kapolri rawan memicu konflik horizontal.

Ketidakmampuan pemerintah merespons FPI dengan kebijakan yang tepat dan komprehensif sungguh mengkhawatirkan. Jika tak segera dikoreksi, dampak buruk kebijakan ini baru akan terasa 5-10 tahun mendatang. Ditambah tendensi pemerintah untuk makin otoritarian, Indonesia bisa-bisa makin jauh dari nilai demokrasi, kebebasan, dan penghormatan hak-hak sipil. Ironisnya, itulah yang persis diinginkan oleh FPI.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus