Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH pendidikan Indonesia yang tak kunjung tertangani adalah timpangnya kualitas dan distribusi guru. Diperlukan konsistensi kebijakan untuk mengatasi dua problem tersebut. Rekrutmen guru menggunakan skema perjanjian kerja oleh pemerintah semestinya hanya dijadikan solusi jangka pendek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya tak ada masalah dalam hal jumlah guru. Rasio guru dan murid pun di atas standar minimal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni 1 : 29 untuk jenjang sekolah dasar, 1 : 24 bagi sekolah menengah pertama, dan 1 : 20 buat sekolah menengah atas. Persoalannya, jumlah guru itu tidak tersebar merata di seluruh Indonesia, yang tergambar pada tajamnya variasi rasio guru dan murid di tiap provinsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi kualitas, ketimpangan terlihat dari rata-rata gelar tenaga pendidik yang juga berbeda-beda. Guru di wilayah Indonesia bagian barat umumnya menempuh jenjang pendidikan yang lebih baik. Hal itu diperparah oleh akses terhadap informasi yang juga tidak merata.
Selama ini, perekrutan guru dilakukan menggunakan jalur pegawai negeri sipil. Jumlahnya meningkat terutama setelah era otonomi daerah. Sering kali rekrutmen ini dilakukan tanpa perhitungan dan proyeksi masa depan, melainkan akomodasi politis.
Pada saat pemilihan presiden dan kepala daerah, kandidat selalu menjanjikan peningkatan kesejahteraan guru. Para politikus pun selalu meneriakkan program mengangkat guru honorer menjadi pegawai negeri. Ujung-ujungnya, demi memenuhi janji tak masuk akal itu, negara harus menanggung beban anggaran rutin yang tinggi.
Pada saat yang sama, kualitas guru tak kunjung meningkat. Dalam uji kompetensi 2012-2015, sebagian besar guru tak mencapai nilai minimum. Sertifikasi guru sejak 2010 dilakukan hanya buat meningkatkan kesejahteraan, bukan kualitas guru. Padahal tak ada korelasi kenaikan gaji guru dengan kualitas pendidikan. Peringkat Indonesia pada penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) pun berada di urutan bawah dalam 10-15 tahun terakhir.
Perlu usaha terus-menerus untuk menutup kelemahan kualitas dan distribusi guru itu. Jumlah guru yang memasuki masa pensiun pada tahun ini bisa menjadi momentum. Rencana pemerintah merekrut sejuta guru dengan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja bisa dipandang sebagai langkah awal dan jangka pendek. Dengan sistem ini, guru direkrut ala pegawai negeri, lalu dikontrak hingga lima tahun. Mereka memperoleh gaji dan fasilitas setara dengan pegawai negeri.
Pemerintah menganggap sistem kontrak ini mengatasi persoalan distribusi. Sebab, guru sering kali mengajukan perpindahan tempat mengejar lima tahun setelah diangkat menjadi pegawai negeri. Akibatnya, daerah-daerah terpencil dan terluar selalu kekurangan guru. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan seleksi guru untuk pegawai negeri tetap dibuka dalam jumlah terbatas.
Sistem kontrak itu mengatasi masalah jangka pendek. Pertama, mengganti secara cepat guru yang pensiun. Kedua, rendahnya penghasilan guru honorer. Kita tahu, sekolah sering kali menggaji seadanya guru honorer menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah. Guru harus mencari penghasilan tambahan sehingga tak bisa maksimal mengajar. Dengan sistem kontrak, dua hal itu mungkin bisa diatasi.
Meski begitu, Menteri Nadiem mesti menjadikan sistem kontrak itu sebagai solusi jangka pendek. Pola rekrutmen pun harus betul-betul dimatangkan dengan semua institusi yang terlibat. Dalam hal ini, koordinasi tak terlihat jelas. Indikasinya, Badan Kepegawaian Negara menyatakan tak ada lagi rekrutmen guru jalur pegawai negeri—berbeda 180 derajat dengan pernyataan Nadiem.
Koordinasi ketat untuk menghasilkan kebijakan yang baik dan konsisten sangat diperlukan. Tanpa itu, kualitas dan distribusi guru akan tetap menjadi masalah akut pendidikan kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo