Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mobil listrik kian populer seiring dengan kesadaran menjaga lingkungan yang meningkat
Di Indonesia, mobil listrik masih belum diminati terlihat dari penjualannya yang hanya 250 unit pada 2020
Mobil ramah lingkungan sudah dikembangkan di era Soeharto
PENJUALAN mobil listrik kian menjanjikan. Di Norwegia, angka penjualan kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) sebesar 54,3 persen dari seluruh penjualan mobil di negara Skandinavia itu pada 2020. Pada tahun yang sama, Tesla, produsen mobil listrik terkemuka asal Amerika Serikat, menjual kendaraan itu sebanyak 499.550 unit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan di Norwegia, penjualan mobil listrik di Indonesia masih seret. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat, sepanjang Januari-Oktober 2020, mobil listrik terjual 250 unit saja. Meski penjualan masih sedikit, pemerintah menargetkan Indonesia sebagai pemain utama industri mobil listrik. Beberapa kementerian pun mulai mengganti kendaraan operasional dengan kendaraan listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya pemerintah membangun industri mobil ramah lingkungan sudah sejak era Orde Baru. Artikel majalah Tempo edisi 25 November 1989 berjudul “Berpacu dalam Sinar Matahari” mengulas pembuatan mobil ramah lingkungan berbasis tenaga surya. Mobil bertenaga surya itu mirip pisang sereh: berbadan lonjong dan berhidung mancung.
Keistimewaannya: atapnya dari panel surya, yang merentang sepanjang tubuh mobil, sebagai pengumpul tenaga matahari. Di Silang Monumen Nasional, Jakarta Pusat, segayung air disiramkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan ke hidung mobil itu pada Ahad pagi lalu. Lantas Fuad menghadiahkan nama “Widya Wahana I” kepadanya. Lalu Menteri Pemuda dan Olahraga Akbar Tandjung mengangkat bendera start.
Maka menggelindinglah mobil listrik tenaga surya itu untuk mengawali perjalanannya ke Surabaya, menempuh jarak 773 kilometer. Mobil tenaga surya pertama buatan tangan Indonesia itu kemudian berlari mengelilingi tugu Monas, diapit dua polisi bersepeda motor dan diiringi 30 sepeda balap. Dalam satu kali putaran, mobil itu telah mencapai kecepatan 40 kilometer per jam.
Setelah dua putaran, mobil karya Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, (ITS) itu memasuki Jalan Thamrin-Sudirman, lalu bergerak ke timur. Di sepanjang jalan protokol itu, Wahyu Dwiono, mahasiswa Teknik Mesin ITS, yang memegang kemudi, mempertahankan laju mobil pada kecepatan 40 kilometer per jam.
Tak ada knalpot pada mobil itu. Tak ada pula kepulan asap. Tak terdengar deru mesin yang bising. Yang terdengar hanya suara putaran roda, mirip suara kipas angin. “Ini jenis mobil antipolusi,” ujar Hadi Sutrisno, Pembantu Rektor III ITS, yang memikul tanggung jawab proyek mobil surya itu.
Panjang mobil surya itu 280 sentimeter dan lebarnya 130 sentimeter. Tingginya, dari ujung roda sampai kabin kemudi, 157 sentimeter. Di atas badan mobil itu dipasang enam panel surya yang juga berfungsi sebagai atap. Di setiap panel surya, yang berukuran 45 x 96 sentimeter, terdapat sejumlah sel surya yang bisa mengubah energi matahari menjadi tenaga listrik.
Pada siang hari yang panas terik, dari setiap panel surya itu bisa dipanen listrik 55 watt. Jadi keenam panel itu bisa menyumbang tenaga sebesar 330 watt. Hasil panen listrik itu kemudian disimpan dalam sembilan aki mobil merek Yuasa yang dirangkaikan secara paralel.
Walhasil, kesembilan aki itu memberikan daya 110 watt dengan arus 35 ampere. Setrum dari aki itulah yang kemudian dipakai untuk memutar motor listrik. Namun tenaga yang dihasilkan oleh motor itu hanya 4 tenaga kuda (PK), jauh lebih rendah dibandingkan dengan tenaga sedan mini Toyota Starlet 1.000 cc, yang berdaya 50-an PK.
Namun, menurut tim ITS itu, tenaga 4 PK tadi sudah cukup untuk membuat mobil Widya Wahana I (WW-I), yang beratnya 500 kilogram, menggelinding. Dalam uji coba, sedan WW-I sanggup merayap dengan kecepatan 30-40 kilometer per jam dan mampu mendaki tanjakan sampai 6 derajat. “Kecepatan maksimum yang bisa dicapai 50 kilometer per jam,” kata Hadi.
Dalam proyek mobil tenaga surya ini, Astra tampil sebagai sponsor utama, menanggung 90 persen dari biaya riset yang sebesar Rp 27 juta. Berbagai bahan baku dan komponen pada WW-I memang “pinjaman” barang Astra. Empat roda pada mobil itu, misalnya, setipe dengan roda sepeda motor GL Pro.
Pengembangan mobil bertenaga surya ini baru dimulai pada akhir 1960-an, setelah fotovoltaik, yang terbuat dari kepingan silika, mulai memasyarakat. Dari hampir 12 ribu unit mobil listrik yang diteliti di Jepang, 50 persen menggunakan panel surya. Namun mobil jenis ini dianggap belum layak diproduksi secara massal dengan berbagai alasan.
Hadi Sutrisno optimistis kendati mobil tenaga surya itu kurang laku di Jepang, Amerika Serikat, atau Eropa. Untuk Indonesia yang tropis, “Mobil tenaga surya ini punya prospek yang baik karena matahari ada sepanjang tahun,” ucap Hadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo