Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALIH-alih mengedepankan dialog untuk menciptakan perdamaian di Papua, pemerintah malah memberangus kebebasan bersuara. Awal Juni lalu, tujuh orang Papua dituntut 5-17 tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka terlibat unjuk rasa yang berakhir rusuh pada Agustus 2019. Protes itu merupakan reaksi atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya menjelang peringatan hari kemerdekaan. Jaksa menuding mereka melakukan makar—tuduhan salah kaprah yang menempatkan mereka sebagai musuh negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amnesty International Indonesia mencatat 44 tahanan lain dikenai tuduhan makar dalam protes lain yang berakhir damai. Sepanjang 2019-2020 diperkirakan 120 aktivis dan penduduk sipil Papua dipenjarakan dengan tuduhan serupa. Membungkam protes merupakan sikap antidemokrasi. Menyelesaikan masalah Papua dengan main tangkap justru melahirkan kebencian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim hendaknya tidak memenuhi tuntutan jaksa itu. Tak hanya mengancam keadilan bagi rakyat Papua, tuntutan itu memberangus kemerdekaan berpendapat—hak asasi yang paling dasar. Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan bisa berkaca pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta soal pemblokiran Internet di Papua selama sekitar tiga pekan setelah unjuk rasa meluas. Dalam putusan yang dibacakan pada 3 Juni lalu itu, hakim PTUN menilai tindakan pemerintah cacat hukum.
Di awal pemerintahan periode pertama, Presiden Joko Widodo sebenarnya melakukan pendekatan simpatik kepada rakyat Papua. Kerap mengunjungi provinsi itu, ia mengutamakan pendekatan kesejahteraan untuk mendekati rakyat Papua. Yang tak dilakukan Presiden adalah meneruskan pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan politik yang mengutamakan dialog. Kekerasan aparat di sejumlah tempat menjadi-jadi. Di tengah represi semacam itu, sejumlah program ekonomi dari pemerintah pusat tak banyak faedahnya—malah terkesan menjadi pupur penghalus wajah saja.
Pemerintah pusat harus memperluas dan mengintensifkan dialog dengan tokoh-tokoh Papua. Betapapun melelahkan, dialog akan mengendurkan ketegangan dan konflik bersenjata. Presiden hendaknya mempertimbangkan usul agar pemerintah menarik sebagian personel Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI. Kehadiran polisi dan tentara dalam jumlah besar di sana nyata-nyata telah menajamkan kekerasan.
Pemerintah hendaknya memperbanyak pembicaraan tentang Papua lewat pelbagai diskusi di tengah masyarakat. Publik di dalam dan luar Papua harus memahami apa yang terjadi di sana. Kita patut menyayangkan dihentikannya diskusi bertajuk “Papuan Lives Matter: Rasisme Hukum di Papua” yang sedianya diselenggarakan pada 6 Juni lalu oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia. Pimpinan universitas itu sendiri yang melayangkan surat yang memprotes diskusi tersebut.
Pemerintah tak boleh mengabaikan perhatian masyarakat internasional terhadap isu Papua. Di era digital saat ini, tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Dunia melihat apa yang terjadi di Papua dan bagaimana Jakarta menanganinya. Menutup dialog dan menyemarakkan kekerasan malah dapat membuat masyarakat internasional antipati. Seiring dengan menguatnya gerakan antirasisme, sikap dunia yang secara umum tak mendukung kemerdekaan Papua bisa berbalik. Jika ini terjadi, Jakarta akan tersudut dan sulit membendung arus balik tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo