Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kadar detergen di sungai-sungai Jakarta melebihi ambang batas baku mutu.
Sebagian besar pencemaran disebabkan oleh penggunaan detergen berlebih oleh masyarakat.
Gubernur Ali Sadikin pernah mengeluarkan surat keputusan larangan perusahaan detergen memproduksi detergen keras.
PENCEMARAN sungai menjadi persoalan yang belum bisa diselesaikan di Jakarta. Selain sampah plastik, limbah detergen mencemari sungai-sungai di Ibu Kota. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, kadar detergen di Kanal Banjir Timur Marunda tahun lalu mencapai 535 mikrogram per liter atau 2,5 kali lebih tinggi dari baku mutu 200 mikrogram per liter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah DKI Jakarta mengklaim sebagian besar berasal dari limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Majalah Tempo edisi 1 Oktober 1977 menulis persoalan limbah detergen di Jakarta. Berita bertajuk “Perang Dagang Antar Deterjen?” itu mengulas pencemaran sungai di Jakarta oleh sejumlah perusahaan detergen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertengahan September 1977 menjadi titik awal berhentinya produksi deterjen keras oleh pabrik-pabrik deterjen di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin telah mengeluarkan surat keputusan gubernur yang mewajibkan semua pabrik deterjen di Jakarta hanya boleh memproduksi deterjen lunak.
Deterjen keras adalah sabun cuci sintetis yang bahan bakunya berasal dari alkil-bensin bercabang yang membuatnya sulit terurai dalam air. Sedangkan deterjen lunak adalah sabun cuci berbahan baku alkil-bensin linier yang cepat terurai dalam air.
Ada tiga raksasa industri deterjen di Jakarta. Mereka adalah Dino, Rinso, dan Exxon. Ketiganya melayani kebutuhan 20 ribu ton deterjen lebih dalam satu tahun. Di samping itu, masih ada pabrik deterjen krim yang tersebar dari Bogor sampai Manado. Semuanya ditaksir melempar paling kurang 30 ribu ton deterjen ke pasar, terutama Jakarta.
Deterjen yang dipakai untuk mencuci piring dan kain kotor mengalir ke sungai. Sejumlah sungai di Jakarta terkadang tampak berbusa karena banyaknya kandungan deterjen di sana. Bahkan, setelah disaring oleh instalasi penjernihan air minum di Pejompongan, busa yang berlimpah ruah itu tetap tak dapat disirnakan. Gangguan busa itu dirasakan oleh Perusahaan Air Minum (PAM) Jakarta sejak 1975.
Meskipun belum dilaporkan ada yang sakit perut, kudisan, atau mati karena minum air berbusa itu, pihak PAM Jakarta menganggapnya “mengganggu keindahan air”. Sebab, saat keran air dibuka, yang keluar adalah air berbusa seperti bir yang luber dari botolnya.
Para produsen deterjen tampaknya belum sepenuhnya siap menjalankan keputusan Gubernur Ali Sadikin. Dino, Rinso, dan Exxo ramai-ramai meminta penundaan batas waktu penghentian produksi deterjen keras. Alasannya, mereka telanjur memasok banyak bahan baku deterjen keras.
Permintaan itu dikabulkan oleh Dinas Perindustrian DKI. Ketiga produsen itu diizinkan menghabiskan stok bahan baku sampai akhir 1977 dan menjualnya sampai April 1978. Akibatnya, kadar deterjen di sungai-sungai Jakarta tetap tinggi. Katup-katup instalasi PAM Jakarta di Pejompongan tetap dipenuhi busa.
Seorang ahli kimia yang sedang mengikuti penelitian efek pencemaran deterjen di Jakarta mengatakan di balik persoalan deterjen itu juga ada persaingan dagang. “Antara dua supplier Jepang,” ujarnya. Pemasaran alkilat keras ke Indonesia selama ini dikuasai oleh Chevron dari Amerika Serikat dan Toyo Menka dari Jepang. Keduanya memegang monopoli bahan baku deterjen di Indonesia. Sementara itu, pesaing Toyo Menka, yakni Marubeni, sudah lama berminat menjual alkilat lunak kemari.
Perang dagang sih boleh saja. Asalkan deterjen lunak itu betul-betul mengurangi polusi air. Dan memang, menurut literatur, pada umumnya deterjen lunak dapat terurai dalam dua-tiga hari dalam air. Sedangkan deterjen keras bisa bertahan sampai sebulan. Namun kecepatan terurai atau tertimbunnya deterjen juga tergantung kadar oksigen terlarut dalam air. Masalahnya, air baku PAM Jakarta miskin oksigen. Buktinya, eceng gondok berkembang pesat di mana-mana. Di samping itu, garam fosfat yang juga terkandung dalam deterjen juga menyuburkan tanaman pengganggu seperti eceng gondok.
Masalah lain, masyarakat sudah telanjur percaya pada bujukan busa yang selama ini gencar diiklankan. Mereka merasa cucian tidak bersih jika tidak banyak busa saat mencuci. Karena itu, produsen deterjen berencana menambahkan foam booster atau zat penambah busa pada deterjen lunak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo