Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA teror terjadi dalam sepekan terakhir, satu pertanyaan muncul: mengapa kita kebobolan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepasang suami-istri meledakkan diri di depan Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus di Makassar pada Ahad, 28 Maret lalu. Setidaknya 20 orang terluka akibat bom bunuh diri tersebut. Tiga hari kemudian, perempuan 25 tahun menembakkan peluru dari senjata ringan jenis airsoft gun di Markas Besar Kepolisian RI, Kebayoran, Jakarta Selatan. Tak melukai satu orang pun, perempuan itu tewas dihajar timah panas polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua aksi teror itu merupakan kejadian pertama setelah bom menghantam Jawa Timur pada Mei 2018. Ketika itu, bom meledak di tiga gereja, kantor polisi, dan rumah susun di Surabaya dan Sidoarjo dalam rentang waktu berdekatan. Setidaknya 18 orang tewas dalam rangkaian teror tersebut.
Setelah itu senyap. Kita seakan-akan lupa pada teror.
Polisi mengaku tidak tidur. Pada 2020, polisi menangkap ratusan orang--umumnya terkait dengan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi yang terafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pada Januari lalu, kepolisian Sulawesi Selatan menangkap 20 orang yang diyakini bagian dari jaringan JAD.
Setelah era Jamaah Islamiyah surut, kini JAD disebut sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas sejumlah teror di Tanah Air. Tak seperti Jamaah Islamiyah yang melibatkan pengebom “senior”--ditandai dengan keterlibatan mereka selama bertahun-tahun dalam organisasi itu sebelum menjadi pengebom--JAD melibatkan pemain-pemain baru yang direkrut secara instan, termasuk lewat media sosial. JAD juga kerap menggunakan warga setempat untuk pengeboman lokal. Karena itu, jumlah simpatisan mereka bisa berlipat dengan cepat. Di Indonesia, anggota dan simpatisan JAD diperkirakan mencapai 20 ribu orang--tiga kali lipat lebih banyak daripada anggota Jamaah Islamiyah.
Di Makassar, tiga bulan sebelum kejadian, Detasemen Khusus 88 Antiteror menyerbu sebuah rumah di perumahan Villa Mutiara. Dua pentolan JAD, Muhammad Rizaldy dan mertuanya, Sanjay Ajiz, ditembak mati. Rumah itu ditengarai sebagai tempat indoktrinasi para pengebom gereja Makassar. Bahkan pasangan pengebom diduga menikah di sana. Meski demikian, keduanya toh lolos dari radar polisi.
Tidak ada yang menyangkal pemberantasan teror merupakan operasi tertutup. Namun bukan berarti operasi itu bisa berlangsung tanpa kendali. Pemberantasan teror bukanlah cek kosong yang diberikan publik kepada polisi. Kewenangan aparat tidak tanpa batas.
Tanpa akuntabilitas, kita tidak tahu operasi mana yang berhasil dan mana yang gagal. Publik juga tak paham apakah operasi menangkal terorisme dilakukan dengan prosedur yang benar atau salah. Lebih jauh, tak ada yang bisa memastikan, benarkah operasi dilakukan untuk kepentingan keamanan ataukah hanya permainan segelintir polisi buat kepentingan jangka pendek.
Mari tengok Siyono. Pada Maret 2016, polisi menangkap warga Klaten, Jawa Tengah, itu dengan tuduhan terlibat Jamaah Islamiyah. Belakangan, ia dilaporkan tewas. Kepala Polri ketika itu, Jenderal Badrodin Haiti, menyebutkan Siyono meninggal setelah bergelut dengan personel Densus 88 dalam kendaraan yang membawanya. Hasil autopsi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan fakta berbeda. Liputan majalah ini dua tahun kemudian mengungkap bagaimana Siyono disekap dan dipukuli oleh lima polisi hingga tewas. Sampai kini kasus tersebut tak pernah diusut.
Jika tak sigap berbenah, polisi akan kehilangan kepercayaan publik. Perang terhadap teror bakal terus dicurigai sebagai pengalihan isu; sikap tegas aparat memunculkan wasangka bahwa polisi sedang main lancung. Padahal, tanpa dukungan orang banyak, perang terhadap teror tidak akan berhasil.
Kita tak boleh lupa: korban terbesar dari teror adalah masyarakat. Dalam teror, publik menjadi takut, merasa tak aman, dan ruang gerak mereka terbatas. Kelumpuhan ekonomi dan tumbuhnya perasaan saling curiga punya efek yang buruk buat orang banyak. Karena itu, sudah seharusnya semua operasi pemberantasan terorisme dipertanggungjawabkan kepada wakil rakyat.
Ini bisa dimulai dengan menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat tak hanya sebagai mitra polisi ketika mengesahkan anggaran, tapi juga sebagai tempat aparat penegak hukum memberi pertanggungjawaban. Jika dianggap sensitif, penjelasan kepolisian kepada DPR tentang berbagai operasi antiteror dapat dilakukan secara tertutup.
Pengawasan dan evaluasi yang ketat akan membantu memastikan efektivitas program pemberantasan terorisme. Tanpa perubahan mendasar, aksi teror akan berulang. Setelah itu, setiap kali bom meledak, kita akan kembali bertanya: mengapa kita kebobolan?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo