Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Penyiaran Indonesia (KPI) tidak sepatutnya masuk ke ranah privat semacam ibadah masyarakat. Surat edaran tentang pelaksanaan siaran selama Ramadan yang dikeluarkan lembaga itu kebablasan karena seolah-olah mengatur perilaku dan ibadah masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pedoman penyiaran itu disusun bersama Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama. Ada 14 hal yang mengatur acara semua lembaga penyiaran selama bulan puasa tahun ini. Pedoman itu, misalnya, melarang stasiun televisi menayangkan siaran yang dianggap berisi konten lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan ini membuktikan KPI mendukung sikap homofobia. Sepanjang 2021 saja KPI mengeluarkan 12 surat teguran ke berbagai stasiun televisi yang dianggap menayangkan konten LGBT. Ini menunjukkan KPI menganggap kelompok rentan itu sebagai musuh berbahaya yang bisa mengancam masyarakat. Hal ini merupakan kemunduran karena Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran justru memerintahkan lembaga penyiaran melindungi kelompok dengan orientasi seks tertentu.
Ketakutan tak berdasar ini pula yang diduga melatarbelakangi aturan lain yang nyeleneh dalam surat edaran pelaksanaan siaran selama Ramadan itu. Di antaranya, larangan menampilkan seseorang yang mengonsumsi makanan secara berlebihan. KPI bahkan mengatur busana pembawa acara. Mereka juga melarang stasiun televisi dan radio menggunakan dai dari organisasi terlarang. Pedoman ini tentu saja berlebihan. Dengan aturan ini, KPI justru menyeret pemirsa dan pendengar radio ke zaman Abad Pertengahan.
Surat edaran itu membuat KPI seolah-olah berubah menjadi lembaga agama. Padahal pelaksanaan ibadah adalah urusan setiap orang dengan Tuhannya. Lembaga itu semestinya tidak perlu memberikan keistimewaan kepada masyarakat muslim selama bulan puasa. Dengan masuk ke wilayah ibadah, KPI malah melupakan tugas utamanya, yakni memastikan lembaga penyiaran bekerja untuk kepentingan publik.
KPI memang kerap melakukan “offside”. Pada akhir 2019, lembaga ini ingin mengawasi konten siaran streaming Netflix dan YouTube. Mereka menganggap konten siaran di Internet perlu diawasi sebagai bagian dari penyiaran. Sejumlah kelompok masyarakat, bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika, menolak mentah-mentah rencana ini. Keinginan KPI mustahil karena Undang-Undang Penyiaran menyebutkan KPI hanya berwenang mengawasi lembaga penyiaran konvensional, bukan layanan berbasis Internet.
KPI seharusnya berfokus mengawasi konten-konten siaran yang justru lebih merugikan publik. Sampai saat ini masih ada stasiun televisi yang memborong jam siaran untuk acara politik pemiliknya. KPI juga tak berlakon galak saat stasiun televisi secara berlebihan menayangkan pernikahan dan gosip rumah tangga selebritas. KPI bahkan cuek saat salah satu stasiun televisi swasta menayangkan acara berjudul “Awas! Gay dan HIV Mengintai” pada Desember 2019.
Lembaga penyiaran menggunakan frekuensi milik publik yang jumlahnya terbatas. Artinya, isi siaran tidak boleh digunakan hanya untuk kepentingan segelintir orang. Komisi ini lahir di tengah semangat reformasi untuk melindungi hak publik atas informasi. Karena itu, penyiaran harus diawasi agar bermanfaat bagi kecerdasan dan kemakmuran orang banyak, bukan malah digunakan untuk menekan kelompok minoritas dan menakut-nakuti masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo