Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBELIAN properti mahal dan bergengsi di luar negeri oleh kelompok usaha asal Indonesia sebenarnya urusan biasa. Tapi jika pelakunya adalah grup bisnis milik Sukanto Tanoto, yang punya riwayat kelam soal penghindaran pajak, otoritas keuangan Indonesia harus menajamkan indra penciumannya. Apalagi transaksi itu terkesan sembunyi-sembunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, dua tahun lalu Adler Pacific Investments Sarl dan Adler Pacific Holdings Sarl, dua perusahaan cangkang di negara surga pajak Luksemburg, membeli bangunan bersejarah di pusat Kota Muenchen, Jerman. Belakangan, terungkap kedua perusahaan itu sebenarnya dikuasai Pasific Resources SG Pte Ltd, perseroan yang berkedudukan di Singapura. Meski namanya tak tercantum dalam akta perusahaan, penelusuran Organized Crime and Corruption Reporting Project, koran Süddeutsche Zeitung, dan Tempo menemukan bahwa Sukanto Tanoto merupakan pemilik (ultimate beneficial owner) perusahaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkantoran yang dibeli Sukanto Tanoto terletak di sudut Jalan Ludwig, satu dari empat jalan yang dibangun Raja Jerman Ludwig I pada abad ke-19. Lokasinya strategis, tepat di jantung bisnis kota itu. Gedung perkantoran seluas 27 ribu meter persegi tersebut kini disewa sejumlah perusahaan papan atas, seperti Allianz dan kelompok bisnis Boston Consulting Group. Perusahaan Sukanto Tanoto membeli properti itu dengan harga fantastis: 348 juta euro atau hampir Rp 6 triliun.
Satu bulan sebelum Sukanto Tanoto membeli kompleks Ludwig, pada Juni 2019, sebuah bangunan ikonik lain di Düsseldorf, sekitar 600 kilometer sebelah barat laut Muenchen, juga terjual. Pembelinya adalah Andre Tanoto, salah satu anak Sukanto Tanoto. Sama seperti transaksi di Muenchen, pembelian ini menggunakan struktur perusahaan cangkang yang berlapis. Bangunan yang dirancang arsitek terkenal Frank Gehry itu dibeli dengan harga 47,6 juta euro (sekitar Rp 800 miliar).
Meski belum ada bukti bahwa transaksi Sukanto Tanoto di Jerman adalah aksi pencucian uang, terdapat sejumlah pertanyaan penting yang mengemuka dari kabar tersebut. Kita tahu, selama ini, ekspansi kelompok usaha Sukanto Tanoto, Royal Golden Eagle dan Toba Pulp Lestari, telah mengubah ratusan ribu hektare hutan negeri ini menjadi hamparan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Konversi hutan tersebut pasti berdampak pada menurunnya kemampuan alam memitigasi krisis iklim.
Dampak buruk bagi lingkungan atau eksternalitas negatif semacam itu tentu tidak bisa dicatatkan sebagai biaya dari perusahaan pengolah sumber daya alam. Yang terkena efek dari ekspansi tersebut bukanlah perseroan milik Sukanto Tanoto atau korporasi lain yang bergerak di bidang serupa. Kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana alam yang dipicu oleh menurunnya daya dukung lingkungan dirasakan seluruh warga Indonesia, terutama masyarakat adat yang tergusur dari hutan-hutan mereka. Karena itu, sungguh ironis: alih-alih kembali ke Indonesia, profit triliunan rupiah dari bisnis Sukanto Tanoto justru berakhir sebagai investasi properti di Jerman.
Kondisi seperti itu bukannya tak bisa diantisipasi. Adalah tugas pemerintah memastikan perusahaan yang mengolah sumber daya alam berkontribusi pada keseimbangan ekosistem di negeri ini. Namun, aturan yang mengharuskan devisa hasil ekspor, terutama yang berbasis sumber alam, harus dibawa pulang ke Indonesia tak pernah benar-benar efektif.
Pemerintah seolah-olah enggan mengubah aturan devisa bebas yang nyaris tanpa kendali. Banyak pejabat yang percaya kepada mitos lama: jika negara mengontrol lalu lintas devisa, ekonomi akan kolaps karena tidak ada orang yang mau membawa uang masuk ke Indonesia. Padahal di negara lain, sebutlah Thailand atau Cina, kendali atas lalu lintas devisa hasil ekspor tak membuat ekonomi ambruk.
Lembeknya pemerintah terhadap lobi perusahaan besar berbasis sumber alam juga memperburuk keadaan. Pemerintah, misalnya, secara brutal memberikan insentif kepada perusahaan kebun dan tambang lewat berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Belum lama ini, pemerintah juga memberikan subsidi triliunan rupiah untuk pengadaan biosolar B30, yang ujungnya dinikmati pelaku industri perkebunan sawit.
Jika benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat, pemerintah seharusnya meninjau kembali semua regulasi yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha kakap. Eksploitasi sumber daya alam harus mulai dikendalikan dan manfaatnya harus sampai kepada khalayak ramai. Menelisik transaksi gelap Sukanto Tanoto di Jerman bisa menjadi langkah perdananya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo