Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kisah Pahit Impor Gula

Inkonsistensi aturan impor gula membuat perusahaan makanan dan minuman pontang-panting mencari pasokan. Proyeksi investasi bisa terganggu.

6 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kisah Pahit Impor Gula

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENTANG-PERENANG impor gula rafinasi baru-baru ini seperti sinetron yang tak kunjung usai. Tarik-ulur mengenai masalah ini sebenarnya tak akan muncul bila sejak awal pemerintah konsisten membuka impor melalui mekanisme pasar. Dengan kebutuhan industri makanan dan minuman yang tiap tahun meningkat, pemerintah seharusnya tidak membatasi izin impor dan kuota hanya untuk pemain lama di industri gula rafinasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, mekanisme impor itu malah makin dikukuhkan dalam rancangan peraturan yang kini masuk tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain membuka peluang masuknya pemburu rente, pembatasan impor hanya akan menyuburkan praktik oligopoli. Skema itu tidak menjamin pabrik makanan dan minuman bakal memperoleh pasokan bahan baku yang lebih baik dari sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah sebenarnya pernah menelurkan keputusan tepat untuk mengatur ketersediaan bahan baku gula buat industri. Dalam rapat kabinet terbatas pada awal Oktober 2020, pemerintah mengizinkan perusahaan makanan dan minuman yang membutuhkan gula industri mengimpor secara langsung. Selain lebih efisien dan mengurangi biaya produksi, skema ini bisa mengukur kepastian jumlah impor sesuai dengan kebutuhan. Ironisnya, hasil rapat kabinet itu dimentahkan oleh rancangan peraturan yang dibahas di level kementerian teknis.

Inkonsistensi kebijakan itu kini mulai menelan korban. Gara-gara tarik-ulur soal prosedur impor tak kunjung selesai, sejumlah perusahaan makanan dan minuman dikabarkan pontang-panting mencari pasokan. Perusahaan besar seperti Nestle, Coca-Cola, dan Indolakto—salah satu anak usaha Grup Indofood—termasuk yang terkena imbas dari seretnya pasokan. Ketiganya merupakan pengguna gula rafinasi cair yang dibutuhkan untuk produk susu dan makanan. Mereka mengandalkan suplai dari pabrik gula rafinasi baru yang didirikan untuk kebutuhan itu. Seretnya suplai bahan baku jelas mengganggu kegiatan produksi.

Ironisnya, inisiatif perusahaan makanan-minuman mengamankan pasokan lewat pendirian pabrik gula rafinasi baru sebenarnya berawal dari tuntutan Kementerian Perindustrian. Pemerintah memang sempat meminta perusahaan makanan dan minuman ikut memikirkan cara agar gula industri tidak merembes ke pasar tradisional. Akhirnya dibangunlah pabrik yang bisa menyerap dan mengolah gula rafinasi cair, selain tentu untuk mengembangkan produksi gula di dalam negeri. Setelah mencurahkan investasi ratusan miliar rupiah, wajar bila mereka sekarang gigit jari.

Kementerian Perdagangan sebenarnya sudah membuka keran impor sebanyak 1,9 juta ton untuk memenuhi kebutuhan pada semester pertama tahun ini. Namun izin impor dan kuota hanya diberikan kepada pemain lawas yang menguasai produksi gula rafinasi dalam bentuk kristal. Terbatasnya pasokan gula rafinasi cair ini akan membuat harga makanan dan minuman tidak stabil di pasar. Konsumen ujung-ujungnya dirugikan karena harus merogoh kocek lebih dalam.

Bukan hanya itu. Ketidakpastian pasokan bahan baku sudah pasti akan mempengaruhi rencana ekspansi perusahaan makanan dan minuman. Tertundanya rencana pengembangan di sektor industri ini bakal menghambat aliran investasi, yang selama ini dinantikan pemerintah. Kisruh berulang di industri ini akan membuat Indonesia kehilangan muka di mata investor asing.

Agar tarik-ulur pengadaan bahan baku gula setiap tahun tidak berulang, pemerintah harus mendorong mekanisme impor yang adil untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha. Kompetisi terbuka ini penting untuk mencegah permainan segelintir orang mengeruk keuntungan. Tanpa itu semua, perbaikan tata niaga gula hanya akan jalan di tempat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus