Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA aroma tak sedap jika kita membandingkan penegakan hukum kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan kasus serupa di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri. Pada kasus Jiwasraya, Kejaksaan Agung tampak begitu perkasa mengusut para pelaku yang sebagian kini telah divonis penjara seumur hidup. Sedangkan dalam kasus Asabri, penyidikan polisi malah mandek sejak sepuluh bulan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Padahal sebagian pelaku dugaan korupsi di Asabri sama saja dengan komplotan yang menggangsir Jiwasraya sampai rugi Rp 16,8 triliun. Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, dua pengusaha kakap yang menjadi otak korupsi di Jiwasraya, juga disebut-sebut bertanggung jawab atas kerugian negara lebih dari Rp 10 triliun di Asabri. Jangan sampai publik menduga penegak hukum tak berani menyentuh kasus korupsi yang melibatkan para petinggi militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi Laporan Hasil Audit Investigatif atas Penempatan Investasi Saham PT Asabri (Persero) Tahun 2012-2017 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sudah membongkar telak modus korupsi di perusahaan asuransi tentara itu. Dalam laporan audit yang dirilis pada Desember 2019, terungkap bagaimana manajemen Asabri membiarkan Benny dan Heru leluasa mengarahkan investasi triliunan rupiah dana kelolaan yang berasal dari potongan gaji ratusan ribu prajurit. Itu tentu tak bisa dikategorikan kelalaian perdata biasa. Ada unsur pelanggaran pidana dan kerugian negara di sana.
Akibat praktik lancung itu, Asabri tak bisa memberikan manfaat optimal untuk para prajurit, polisi, dan pensiunan yang menjadi pemegang polis asuransinya. Selama bertahun-tahun, nilai uang pensiun para perwira bahkan lebih kecil daripada upah minimum provinsi di Jakarta. Total uang tabungan dan manfaat lain yang mereka peroleh setelah bekerja sebagai abdi negara selama puluhan tahun juga jauh lebih rendah dibanding nilai manfaat yang diterima aparatur sipil negara lain.
Jika ditelusuri ke hulu, situasi ini sudah bisa diduga. Tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan total dana akumulasi iuran pensiun di Asabri berkurang Rp 7,52 triliun menjadi senilai Rp 17,66 triliun. Padahal, pada periode yang sama, dana kelolaan PT Taspen (Persero), perusahaan asuransi pelat merah untuk aparatur sipil negara, naik Rp 25,26 triliun menjadi Rp 151,42 triliun. Fakta bahwa manajemen Asabri dipegang para jenderal, dan bukan manajer investasi profesional, tentu berperan besar pada kerugian ini.
Walhasil, temuan BPKP dan BPK sebenarnya sudah cukup untuk menjerat para pelaku penggarongan di Asabri ke meja hijau. Terlebih dengan adanya vonis pengadilan untuk para pelaku dalam kasus Jiwasraya. Tak ada alasan lagi untuk polisi menunda-nunda penyelesaian perkara ini.
Ke depan, reformasi total di Asabri adalah keharusan. Membiarkan perusahaan asuransi sosial, yang semestinya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada para prajurit, polisi, dan pegawai Kementerian Pertahanan, dikelola secara amburadul adalah kesalahan pemerintah yang tak bisa ditoleransi. Setelah triliunan rupiah dana potongan gaji tentara menguap, sudah saatnya Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, sebagai perwakilan pemilik saham Asabri, bergerak cepat. Sungguh miris menyaksikan nasib pensiunan militer kita yang terpaksa mencari pekerjaan lain pada masa purnatugas gara-gara uang pensiun mereka dari Asabri tak mencukupi.
Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga tak boleh berpangku tangan. Mereka harus mendorong pimpinan Asabri bersikap transparan dan tak menghalangi penyidikan polisi. Keduanya juga harus mendukung rencana reformasi asuransi negara yang disiapkan Kementerian BUMN. Sudah bukan zamannya lagi tentara menguasai bidang-bidang yang bukan kompetensinya.
Meski terlambat, langkah pemerintah mendorong pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sudah tepat. Sesuai dengan aturan itu, program dana pensiun dan tabungan hari tua Asabri—dan juga Taspen—harus segera dialihkan ke BP Jamsostek. Peralihan ini diharapkan memperbaiki kualitas jaminan kesejahteraan yang diberikan negara kepada pensiunan prajurit dan polisi.
Pengelolaan Asabri yang tertutup dan tak profesional memang harus dibayar mahal. Akibat salah urus ini, ratusan ribu pensiunan tentara dan polisi tak bisa mencukupi kebutuhan dasar hidup mereka secara layak. Situasi ini terasa ironis mengingat pengurus Asabri selama ini dipegang para jenderal. Negara tak boleh membiarkan ketimpangan ini berlarut-larut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo