Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA PT Pertamina (Persero) menjadikan semua subholding usahanya sebagai perusahaan terbuka adalah sinyal bagus untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik. Dengan sebagian sahamnya dimiliki publik, pengelolaan perusahaan subinduk tersebut akan lebih transparan dan profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencananya, Pertamina akan menjual saham lima anak usaha atau subholding di pasar modal, di luar PT Perusahaan Gas Negara, yang memang sudah go public. Lima subholding itu adalah PT Pertamina Hulu Energi, yang mengelola sektor hulu, PT Kilang Pertamina Internasional (kilang dan petrokimia), PT Pertamina Power Indonesia (energi), PT Patra Niaga (komersial dan perdagangan), serta PT Pertamina International Shipping (pengapalan). Namun banyak yang menentang rencana ini, terutama serikat pekerja di lingkungan Pertamina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penentangan itu aneh karena, dengan status sebagai perseroan terbuka, subholding akan leluasa menggalang dana publik dan lebih gesit berekspansi. Pertamina bisa belajar dari PT PGN. Pada 2020, kapitalisasi pasar PGN sudah mencapai Rp 27,5 triliun, hampir sembilan kali lipat dibanding 2004, setahun setelah PGN go public. Data lain menunjukkan aset PGN pada 2003 masih Rp 9,1 triliun, sementara pada akhir 2019 sudah mencapai Rp 102,2 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mungkin sudah menengok perusahaan tetangga. Saat ini, struktur baru Pertamina mirip dengan Petronas. Di bawah holding Petronas, ada lima subholding yang sudah go public di Bursa Kuala Lumpur, yakni Petronas Chemicals Group Bhd, Petronas Dagangan Bhd, Petronas Gas Bhd, MISC Berhad for Logistic and Maritime, dan KLCC Properties Holdings Bhd. Lima subholding itulah yang kini menjadi motor Petronas.
Kita semua tahu, kinerja Petronas jauh di atas Pertamina. Berdasarkan data Global 500 Fortune 2019, Petronas berada di peringkat 158 dengan penjualan US$ 62,23 miliar dan keuntungan US$ 11,87 miliar (margin laba 19 persen). Bandingkan dengan Pertamina, yang berada di posisi 175 dengan penjualan US$ 57,93 miliar dan laba US$ 2,53 miliar (margin laba 4,4 persen). Paling tidak, kita bisa mengasumsikan pengelolaan Petronas jauh lebih efisien.
Tipisnya margin laba Pertamina menunjukkan ada yang salah dengan perusahaan ini. Anak usaha Petronas sebetulnya juga lebih banyak, yakni 179 perusahaan. Tapi struktur Petronas memungkinkan perusahaan bergerak jauh lebih lincah. Bandingkan dengan Pertamina, yang memiliki 142 anak usaha, yang banyak di antaranya tak berhubungan dengan bisnis inti—dari perhotelan, asuransi, hingga minimarket—yang dikendalikan langsung oleh Direktur Utama Pertamina. Dengan subholding, Direktur Pertamina bisa mengurus hal-hal yang lebih strategis.
Persoalan lain adalah “intervensi” pemerintah melalui Kementerian BUMN yang begitu hebat atas Pertamina. Sebagai perbandingan, pada periode 2005-2020, Petronas memiliki tiga chief executive officer dengan masa jabatan lima tahunan. Pada periode yang sama, Pertamina dipimpin delapan direktur utama. Masa jabatan Direktur Utama Pertamina sama sekali tak jelas. Hanya Karen Agustiawan yang “sukses” memimpin Pertamina selama lima tahun.
Karena itu, restrukturisasi merupakan strategi yang tidak-bisa-tidak harus dijalankan Pertamina, termasuk memangkas anak usaha yang tak ada kaitannya dengan bisnis inti. Langkah ini harus didukung semua pemangku kepentingan Pertamina, termasuk serikat pekerja. Pengelola dan pekerja Pertamina harus realistis bahwa perusahaannya tak lagi berjaya seperti pada 1970-1980-an. Mode konsolidasi sudah saatnya dihidupkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo