Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH akan mencatat dengan gamblang rekam jejak Presiden Joko Widodo dalam gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Pada 2014, ketika berpidato dalam rangkaian kampanye pemilihan presiden, ia menyatakan dengan lantang bahwa penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dilakukan secara “tegas dan bukan semu, ragu, atau basa-basi”. Jokowi bahkan melontarkan janji bakal menguatkan komisi antikorupsi jika dia terpilih sebagai presiden. “Kurang berapa? Seribu penyidik? Tambah seribu penyidik!” katanya ketika itu, tanpa ragu-ragu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, semua pidato itu ternyata tak berujung aksi nyata. Jokowi membiarkan Undang-Undang KPK direvisi sedemikian rupa untuk mengurangi efektivitasnya. Dia membuka pintu untuk pencalonan polisi bermasalah sebagai pucuk pemimpin KPK. Jokowi juga diam saja ketika permintaannya agar 75 pegawai KPK tidak diberhentikan hanya karena tak lolos tes wawasan kebangsaan diabaikan begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagat perubahan sikap Jokowi mulai terbaca dua tahun terakhir. Pada masa-masa genting setelah revisi Undang-Undang KPK disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat pada Desember 2019, Jokowi tampak mendua. Ketika itu, gelombang protes merebak di mana-mana. Bentrokan dengan polisi bahkan menewaskan dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Setelah ditemui sejumlah tokoh masyarakat di Istana Negara, Jokowi mengaku tengah mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Kita tahu perpu itu tak pernah terwujud.
Sebelumnya, pada September 2019, Presiden Jokowi juga dipersoalkan karena meloloskan sepuluh calon pemimpin KPK yang bermasalah. Kelompok masyarakat sipil secara khusus mengkritik pencalonan Firli Bahuri, Direktur Penindakan (ketika itu) yang pernah melanggar etika karena bertemu dengan pihak yang beperkara. Pada saat itu, Jokowi berdalih tugasnya sebatas meneruskan hasil panitia seleksi kandidat pimpinan KPK. Adapun keputusan ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sekarang terkuak pencalonan dan pemilihan Firli itu sudah sesuai dengan skenario Istana sejak awal. Karena itu, publik jangan heran melihat Jokowi tak bertindak ketika Firli memaksakan penyaringan pegawai lembaganya melalui “tes wawasan kebangsaan”. Mekanisme penyaringan yang amat tidak fair itu membuat 75 pegawai KPK tersingkir, termasuk penyidik-penyidik senior. Bisa dibilang tes alih status kepegawaian itu merupakan permainan pamungkas dalam usaha membonsai KPK pada pemerintahan Jokowi.
Sebelum penyingkiran 75 pegawai ini, KPK masih bisa menggeliat, meski terengah-engah. Ada penyidik-penyidik internal—untuk membedakannya dengan penyidik yang ditugasi Markas Besar Kepolisian RI di KPK—yang memiliki militansi dan kreativitas tinggi. Hasilnya, mereka berhasil membongkar korupsi yang melibatkan dua anggota kabinet Jokowi: Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Agar pemandulan KPK berjalan sempurna, para penyidik militan itu harus disingkirkan. Mereka adalah ganjalan terakhir buat mengendalikan KPK sepenuhnya. Alih status kepegawaian yang diatur undang-undang baru pun membuka jalan buat usaha ini. Firli lalu menyisipkan kewajiban “tes wawasan kebangsaan” serta diduga menyusun daftar penyidik dan pegawai lain yang perlu mendapat “stempel merah” dan, karena itu, “tidak bisa dibina”.
Jika dipilah-pilah, para pegawai yang disingkirkan ini terbagi dalam sejumlah kelompok. Mereka, antara lain, kelompok peneken petisi untuk Firli yang disebut menghambat penanganan kasus pada Maret 2019. Kedua, mereka yang menangani kasus pelanggaran etik Firli pada tahun yang sama. Ketiga, para penyidik perkara dugaan gratifikasi yang menjadikan Budi Gunawan, kini Kepala Badan Intelijen Negara, sebagai tersangka pada 2015.
Ketika protes publik memuncak, Presiden Jokowi memang berpidato untuk meminta tes kebangsaan di KPK “tidak serta-merta dijadikan dasar kelulusan menjadi aparatur sipil negara”. Tapi Firli terus merangsek. Yang janggal, Jokowi tidak menggunakan kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan untuk menegur tindakan insubordinasi Firli. Ini menunjukkan ada kekuatan politik besar di belakang Ketua KPK itu.
Pidato saja jelas tak cukup untuk menyelamatkan gerakan pemberantasan korupsi. Jangan kaget jika muncul syak wasangka bahwa Jokowilah yang sejatinya menginginkan pelemahan KPK. Ada pula kecurigaan bahwa di bawah Firli, KPK akan menjadi kekuatan ampuh kubu tertentu buat menaklukkan lawan-lawan politiknya. Karena itu, jika tak ada intervensi politik dan hukum lain yang bisa membatalkan semua aksi Firli, kini sah untuk menyatakan: KPK dibentuk di zaman Megawati Soekarnoputri dan hancur di masa Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo