Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kondisi Garuda Indonesia tengah limbung karena banyak persoalan di tubuh maskapai itu termasuk utang yang menumpuk hingga Rp 70 triliun dan inefisiensi
Persoalan utama Garuda Indonesia sama seperti di era Orde Baru: terlilit utang, inefisensi, dan merugi
Karena persoalan itu Dirut Utama Garuda Muhammad Soeparno dicopot dari jabatannya
GARUDA Indonesia tengah limbung. Keuangan maskapai pelat merah itu morat-marit karena dihantam pandemi Covid-19. Beban makin berat lantaran utang terus bertumpuk mencapai Rp 70 triliun, bahkan diprediksi bertambah Rp 1 triliun tiap bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid, utang yang menggunung itu buah persoalan di Garuda yang sangat besar, dari korupsi hingga inefisiensi. “Namun Garuda adalah national flag carrier. Harus diselamatkan,” kata Yenny lewat akun Twitter @yennywahid pada Sabtu, 29 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak era Orde Baru, Garuda Indonesia punya banyak masalah. Bahkan, menurut artikel majalah Tempo edisi 25 Januari 1992 berjudul “Mengapa Kapten di Pucuk itu Diganti”, Direktur Utama Garuda sampai dicopot karena saking peliknya persoalan di tubuh maskapai itu, termasuk masalah utang dan inefisiensi. Berikut ini artikelnya.
Ada saat datang dan ada saat pergi. Muhammad Soeparno, bekas Direktur Utama Garuda Indonesia, dalam upacara serah-terima di Departemen Perhubungan, Jumat pekan lalu, melepas jabatannya sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia yang sudah diembannya selama empat tahun.
Penggantinya adalah Wage Mulyono, Marsekal Muda Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara dan bekas Direktur Utama Pelita Air Service. Soeparno mengaku telah mendengar bahwa ia akan diganti sejak 1989. “Jadi, kalau sekarang diganti, saya sudah siap,” katanya dalam wawancara dengan Tempo di rumahnya, Jumat malam.
Padahal, diakuinya juga, dalam hati ia bertanya: mengapa saya diganti? Pertanyaan serupa terlompat dari mulut banyak orang. Namun pidato Menteri Perhubungan Azwar Anas dalam upacara pelantikan Wage Mulyono secara tak langsung bisa ditafsirkan sebagai jawaban.
Intinya: di Garuda masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki. Salah satu kelemahan terbesar ialah belum efisien. Inefisiensi itu banyak penyebabnya. Pertama, utang Garuda sudah terlalu besar. Utang ini diwariskan sejak era Direktur Utama Wiweko Soepeno, yang memulai kepemimpinannya dengan membereskan kekalang-kabutan Garuda dari masa Orde Lama dan kemudian secara ekspansif memperbesar armada.
Wiweko kemudian digantikan R.A.J. Lumenta. Memang, sejak 1988, berkali-kali Soeparno, yang menggantikan Lumenta, memproklamasikan bahwa Garuda Indonesia sudah mencatat laba. Tapi ini memancing kritik karena badan usaha milik negara itu sebenarnya masih dalam posisi merugi. Soalnya, laba itu belum memperhitungkan biaya investasi serta kerugian perusahaan yang telah menumpuk sejak 1980 hingga 1987 (Rp 1,2 triliun).
Seluruh kerugian Garuda selama 1985-1987 sudah hampir Rp 900 miliar. Itu belum termasuk kerugian pada 1980-1984 yang pernah diungkapkan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, R.A.J. Lumenta. Jumlahnya US$ 151,5 juta atau sekitar Rp 300 miliar.
Laba antara 1988 dan 1991 yang berjumlah sekitar Rp 820 miliar tentu belum bisa menutup segala kerugian tersebut. Dengan demikian, perusahaan ini belum bisa membayar pajak penghasilan badan usaha. Pajak yang disetor Garuda pada 1990 (Rp 113,49 miliar) dan pada 1991 (Rp 102,44 miliar) barulah berupa pajak penghasilan karyawan dan anak-anak perusahaannya.
Usaha efisiensi memang sudah dirintis direksi. Di zaman Wiweko, penekanan biaya dilakukan dengan penghematan sajian bagi penumpang penerbangan di bawah satu jam. Di bawah Lumenta, yang dilakukan ialah mengoptimalkan operasi pesawat, antara lain dengan menciptakan rute baru.
Ia berhasil karena akhirnya tak ada lagi pesawat yang nganggur. Hanya, kemampuan pesawat-pesawat itu untuk terbang lebih dari 10 jam sehari ternyata masih terhambat oleh kurangnya fasilitas lapangan terbang.
Lain lagi langkah yang ditempuh Soeparno. Ia meminta berbagai fasilitas dari pemerintah. Misalnya hibah pusat perawatan pesawat di Bandar Udara Cengkareng, revaluasi terhadap aset sehingga bisa mendapatkan pinjaman bank, dan fasilitas kredit ekspor yang berbunga hanya sekitar 11 persen. Soeparno tiba-tiba bicara Garuda sudah untung dan siap go public.
Pernyataan Soeparno dibantah Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan. Ketika itulah mulai terdengar bahwa Direktur Utama Garuda akan segera diganti. Apalagi ada kasus lain. Sewaktu Presiden berkunjung ke Jepang, RRC, dan Vietnam, manajemen ketahuan melakukan pemborosan dengan mengadakan pesta di hotel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo