Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEINGINAN Kementerian Pertahanan membeli serangkaian persenjataan senilai Rp 1.760 triliun di era pandemi adalah laku lajak, gagah-gagahan, sekaligus cerminan sikap paranoia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lajak dan gagah-gagahan karena rencana itu tak menimbang keuangan negara yang sedang seret di era pandemi. Paranoia karena keinginan itu didasarkan pada ketakutan yang tak berdasar terhadap potensi ancaman dari luar. Ditambah nilainya yang fantastis dan kewajiban menghabiskan anggaran hingga 2024, bolehlah orang curiga: pengadaan itu didesain sebagai sumber pendanaan menjelang pemilihan umum tiga tahun lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengadaan dan Pemeliharaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan itu kini menjadi omongan. Dalih pembelian senjata untuk menjaga kedaulatan sulit dipercaya karena Kementerian Pertahanan tak memiliki peta jalan yang jelas. Tak pernah ada penjelasan terbuka: seberapa penting senjata-senjata yang akan dibeli dan seberapa besar ancaman kedaulatan kita sehingga perlu dijaga belasan kapal selam dan puluhan jet tempur seperti yang diusulkan Prabowo.
Tak seperti lazimnya, pengadaan itu pun bukan diusulkan tiga matra Tentara Nasional Indonesia, melainkan ditetapkan secara sepihak oleh Kementerian Pertahanan. Aroma tak sedap juga meruap karena Prabowo secara khusus menunjuk PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) sebagai broker dadakan untuk menggarap pengadaan ini.
Penunjukan itu jelas menerabas tata cara pengadaan barang dan jasa. Apalagi PT TMI dikendalikan empat kader Gerindra, partai politik yang dipimpin Prabowo. Salah satunya Glenny Kairupan, kawan lama Prabowo di TNI dan anggota Dewan Pembina Partai Gerindra.
Sikap Prabowo yang tertutup perihal anggaran senjata menambah buruk kontrol publik terhadap belanja militer. Tanpa pengawasan, belanja alat utama sistem persenjataan Rp 1.760 triliun akan menjadi kegiatan ngawur-ngawuran. Dalam sepuluh tahun terakhir, sejumlah kasus korupsi pengadaan senjata terjadi karena praktik sembunyi-sembunyi semacam ini. Satu yang mencolok adalah korupsi pengadaan pesawat F-16 dan helikopter Apache pada 2010-2014.
Prabowo, pendiri dan Ketua Umum Partai Gerindra, semestinya dapat menahan diri. Mengklaim partainya peduli kepada nasib orang kecil, Prabowo harus menyadari bahwa anggaran negara yang cekak lebih baik dipakai untuk memperkuat usaha mikro, kecil, dan menengah yang tengah megap-megap karena wabah corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang biasanya cerewet soal anggaran, tak boleh tinggal diam. Memiliki wewenang untuk menolak proyek yang tak sesuai dengan anggaran, ia tak boleh membiarkan dirinya terbawa arus politik. Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat segendang sepenarian dengan Prabowo. Sri Mulyani harus berani berkata tidak betapapun ia bertentangan pendapat dengan umumnya anggota DPR.
Menteri Keuangan dapat menjelaskan perihal betapa muskil rencana pembelian itu dari sisi anggaran. Dibayar lewat kredit ekspor alias utang luar negeri, pengadaan itu jelas akan menambah beban negara. Hingga kuartal pertama tahun ini, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 422,6 miliar atau setara dengan Rp 6.169,96 triliun. Menambah utang untuk belanja senjata akan membebani rakyat di masa mendatang.
Presiden Joko Widodo harus membatalkan rencana tersebut. Betapapun ia pernah meminta Prabowo menyusun rencana strategi pertahanan, ia tak boleh membiarkan rencana itu dilakukan dengan menabrak aturan dan prinsip-prinsip kepatutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo