Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIMPANG-siur soal prosedur impor gula rafinasi untuk kebutuhan industri harus segera diakhiri. Kalau tidak, pasokan gula untuk produksi makanan dan minuman bisa terhambat dan harganya terus naik tak terkendali. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa skema impor berorientasi pada efisiensi dan pengurangan biaya produksi, bukannya membuka lebar-lebar peluang masuknya pemburu rente dalam pengadaan komoditas strategis ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat kabinet terbatas tentang importasi gula dan garam khusus industri pada awal Oktober 2020 sudah menelurkan keputusan yang tepat. Ketika itu, seperti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan seusai rapat, pemerintah mengizinkan industri makanan dan industri yang membutuhkan garam atau gula industri mengimpor secara langsung. Selama ini, industri makanan dan minuman harus menanti pasokan bahan baku dari industri gula rafinasi yang memegang izin impor dan kuota sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 Tahun 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada beberapa masalah dalam skema impor yang saat ini berlaku. Pertama, terjadi inefisiensi karena importir atau pabrik gula rafinasi pada kenyataannya hanya menjadi broker. Nilai tambah berupa pengolahan gula mentah menjadi gula rafinasi tak sebanding dengan tambahan biaya yang harus ditanggung industri makanan dan minuman akibat rantai pasok yang memanjang.
Apalagi tak semua pabrik gula rafinasi serius memenuhi kewajibannya membuka kebun tebu sendiri. Cita-cita membangun basis produksi gula yang kelak bisa swasembada hanya kedok untuk mempertahankan rente di industri gula rafinasi.
Bukti kegagalan ini terjadi pada Januari lalu. Ketika itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia mengeluhkan stok gula rafinasi menipis akibat keterlambatan impor. Produksi empat pabrik makanan dan minuman sampai berhenti karena kehabisan gula.
Kedua, ada masalah dalam penentuan kuota impor gula. Karena pemerintah tak memiliki basis data yang valid, kuota tak pernah benar-benar mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan pabrik makanan dan minuman, kebutuhan konsumen langsung di pasar, dan kepentingan petani. Kuota impor yang berlebih, kerap dipicu lobi-lobi importir, menyebabkan gula rafinasi impor merembes ke pasar eceran. Selain menjatuhkan harga gula petani, ini jelas merugikan konsumen karena gula kristal murni tersebut tak baik untuk kesehatan jika dikonsumsi langsung.
Sayangnya, keputusan rapat kabinet terbatas itu kini dimentahkan oleh pembahasan di level Kementerian Perindustrian. Beredar kabar bahwa kementerian tetap akan mempertahankan skema impor seperti sekarang. Bedanya, importir bakal dibatasi hanya pemain lama di industri gula rafinasi. Selain itu, pemerintah berjanji menerbitkan izin dan kuota tepat waktu agar pasokan gula buat industri makanan dan minuman tak sampai seret. Jika benar, rancangan keputusan ini dikhawatirkan bakal mendorong oligopoli impor gula. Kita tahu industri gula rafinasi di negeri ini sebenarnya dikuasai segelintir pengusaha besar saja.
Rencana pemerintah memperbaiki tata niaga gula dengan mengizinkan impor langsung oleh industri makanan dan minuman tak boleh goyah hanya karena lobi-lobi importir gula rafinasi. Konsumen tidak boleh dipaksa membayar harga lebih mahal akibat rantai pasokan yang sengaja dibuat panjang. Dalam jangka panjang, kebijakan bagi-bagi rezeki semacam ini tak akan menghasilkan industri nasional yang kompetitif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo