Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGHADAPI ekonomi yang didera resesi, pemerintah harus memiliki langkah strategis. Resesi jelas bukan kabar baik dan fakta itu tidak boleh ditutup-tutupi dengan retorika “ekonomi sudah mulai membaik”—semata untuk menenangkan pasar dan orang ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resesi terjadi setelah dua kuartal berturut-turut ekonomi Indonesia tumbuh negatif. Pada kuartal ketiga tahun ini, seperti diumumkan Badan Pusat Statistik 5 November lalu, pertumbuhan minus 3,49 persen. Kuartal sebelumnya negatif 5,32 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti terjadi di banyak negara, resesi Indonesia terjadi akibat wabah Covid-19. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar untuk menjaga kesehatan masyarakat tak terhindarkan membawa dampak buruk bagi ekonomi nasional. Orang-orang mengurangi konsumsi, permintaan barang dan jasa terjun bebas, perusahaan tutup, pemutusan hubungan kerja terjadi, daya beli masyarakat merosot, perusahaan yang masih bertahan satu per satu berguguran—lingkaran setan yang tak terhindarkan.
Meski sinyal resesi sudah tampak sebelum kuartal kedua 2020, masih ada pejabat yang menganggap peringatan akan bahaya resesi hanya paranoia. Ada pula yang sok cool: setelah ekonomi babak-belur, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada awal November lalu mengatakan Indonesia sudah mulai keluar dari resesi.
Pertumbuhan negatif ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga memang lebih baik dibanding kuartal sebelumnya. Tapi terlalu dini untuk mengatakan kita telah keluar dari kubangan krisis. Hendaknya diingat: semangat membangun optimisme memang diperlukan, tapi itu tidak berarti kita boleh membohongi diri sendiri. Penyangkalan bisa menyebabkan pemerintah dan publik lengah.
Pemerintah hendaknya segera menyusun strategi penyelamatan. Karena resesi dipicu oleh turunnya angka konsumsi, beleid pemerintah haruslah diarahkan pada upaya mendongkrak daya beli masyarakat. Alih-alih membantu rakyat dengan program Kartu Prakerja—yang terbukti hanya menguntungkan penyelenggara kegiatan—pemerintah hendaknya memperbanyak bantuan langsung tunai. Bantuan berupa barang, misalnya aksi bagi-bagi bahan kebutuhan pokok, terbukti juga tak efektif, bahkan hanya menguntungkan produsen penyedia bahan pokok.
Pemerintah perlu meninjau skala prioritas alokasi anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 yang disahkan pada 29 September 2020 mematok belanja Rp 2.750 triliun, naik dari tahun sebelumnya Rp 2.540,4 triliun. Target pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 5 persen hanyalah sedikit lebih rendah dari tahun lalu, yang 5,3 persen. Sebuah fakta yang tak bisa ditolak: dalam lima tahun terakhir, target pertumbuhan ekonomi pemerintah meleset dari rencana.
Di saat krisis, penetapan target yang kelewat tinggi bisa kontraproduktif. Soalnya pertumbuhan membutuhkan modal dan modal membutuhkan pemasukan. Pemasukan yang didapat dari utang pada gilirannya akan kembali membebani anggaran di masa depan. Dalam APBN 2021, defisit ditetapkan 1.006,37 triliun atau 5,7 persen dari produk domestik bruto. Selama ini APBN kita, bahkan sebelum Covid-19, ditutup dengan pinjaman.
Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis krisis bisa segera diatasi. Pada kuartal IV tahun ini, menurut Menteri Keuangan, pemerintah akan mempercepat realisasi belanja negara di pusat dan daerah, yang nilainya Rp 1.200 triliun. Pemerintah juga berharap vaksin yang segera datang bisa memicu perbaikan ekonomi.
Meski tak buruk, optimisme Menteri Keuangan patut diwaspadai, terutama perihal target realisasi belanja negara. Yang selama ini terjadi, penyerapan anggaran terseok-seok, akibat birokrasi yang tak efektif dan koordinasi antarlembaga yang jelek.
Harapan pada vaksin untuk mengatasi pandemi hendaknya tidak berlebihan dilambungkan. Para epidemiolog telah mengingatkan: meski nanti tersedia, vaksin Covid-19 tidak akan serta-merta menghapus wabah.
Dengan kata lain: jalan masih terjal. Ekonomi tidak akan segera pulih terutama jika pemerintah kehilangan fokus dan kebijakan tak henti dirongrong kepentingan jangka pendek segelintir orang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo