Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pelajaran sedang dipetik dari negeri Cina. Awalnya adalah perdebatan tentang kontrak penjualan gas Tangguh ke Negeri Naga ini. Ini hal yang wajar. Soalnya, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, bila kontrak yang direncanakan akan dilaksanakan mulai tahun depan ini dijalankan, Indonesia berpotensi rugi Rp 750 triliun alias hampir senilai anggaran pendapatan dan belanja negara tahun lalu. Presiden Yudhoyono pun bertindak sigap: sebuah tim perunding dibentuk. Tim yang dipimpin Menteri Koordinator Ekonomi Sri Mulyani ini ditugaskan untuk menegosiasi ulang kontrak agar Indonesia mendapat hasil yang lebih baik dari penjualan gas itu.
Sikap ini sudah tepat. Peraih Nobel Joseph Stiglitz sudah sejak dua tahun silam menyarankan agar pemerintahan negeri penghasil minyak dan gas menegosiasikan kembali semua kontrak mereka di bidang energi tak terbarukan. "Tingginya harga minyak sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk melakukannya," kata pakar kenamaan yang pernah menjadi kepala ekonomi Bank Dunia ini.
Dalam melakukan perundingan ulang ini, pemerintah perlu belajar dari pengalaman banyak negara yang berhasil melakukannya. Indonesia tentu tak perlu bersikap konfrontatif seperti ditunjukkan Presiden Venezuela Hugo Chavez, apalagi melakukan gertak nasionalisasi ala Presiden Bolivia Evo Morales. Bergaya preman dingin ala Vladimir Putin pun-yang memanfaatkan ketergantungan energi banyak negara tetangganya, termasuk Eropa, untuk kepentingan Rusia-tak layak dilakukan.
Bahkan berjurus pedagang pun sebaiknya tidak diprioritaskan. Menyelesaikan kasus ini dengan mengedepankan masalah teknis hukum dan ekonomi hanya akan mempersulit posisi Indonesia yang sudah telanjur menandatangani kontrak. Menjulurkan tangan persahabatan melalui diplomasi pembangunan mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik bagi kedua pihak.
Yang sepatutnya dikedepankan adalah mengajak Beijing untuk mendapatkan kesepakatan yang saling menguntungkan (win-win). Sebagai dua negara bersahabat dengan ekonomi yang berkembang pesat tapi masih memiliki ratusan juta orang miskin, kedua pemerintahan dapat duduk bersama membicarakan pemanfaatan energi gas Tangguh sebagai modal untuk pengentasan kaum papa di Indonesia ataupun Tiongkok. Misalnya saja dengan memastikan bahwa dana tambahan yang diperoleh Indonesia dari kenaikan harga gas dalam kontrak akan dimanfaatkan untuk pembiayaan program kesejahteraan masyarakat yang tertinggal dan keuntungan yang diterima Cina dari lebih rendahnya harga gas Tangguh dibanding harga dunia akan dibelanjakan untuk program serupa di RRC.
Bila kesepakatan memanfaatkan hasil kekayaan alam untuk memberdayakan rakyat jelata ini dapat disepakati, kedua negara akan menjadi pelopor baru dalam upaya pengentasan masyarakat miskin di dunia. Di bidang ilmu pembangunan ekonomi pun kedua negara akan menjadi pionir yang mementahkan teori sinis yang menyatakan "kekayaan alam adalah kutukan sebuah bangsa". Presiden Yudhoyono pun boleh berkata bahwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 telah dijalankan dengan baik, bahwa kekayaan bumi Indonesia telah dimanfaatkan untuk sebaik-baiknya kesejahteraan bangsa.
Kini berpulang kepada Menteri Sri Mulyani dan tim perundingnya untuk berkiprah. Sanggupkah mereka memetik pelajaran terbaik dari negeri Cina?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo