Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA terus dijalankan tanpa konsistensi, kebijakan konversi energi niscaya berantakan. Sia-sia saja usaha pemerintah dalam setahun terakhir ini mendorong rakyat mengganti minyak tanah dengan gas, karena sekarang muncul kebijakan baru yang melemahkan program konversi.
Kebijakan yang terancam gagal itu mulanya berawal dari niat baik. Pada 2010—dua tahun lebih cepat daripada program semula—ditargetkan 42 juta rumah tangga beralih dari menggunakan minyak tanah ke gas, yang lebih murah. Agar memikat, pemerintah menyediakan tabung tiga kilogram yang harganya lebih rendah ketimbang tabung 12 kilogram yang sudah ada di pasar. Tabung dan kompor bahkan dibagikan gratis.
Kalau program itu berjalan menurut rencana, bukan hanya pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak bisa dihemat, melainkan rakyat pun diuntungkan. Pemerintah menjelaskan, dengan menggunakan gas, pengeluaran rumah tangga untuk membeli bahan bakar akan berkurang sekitar sepertiga. Dengan asumsi setiap rumah tangga memakai minyak tanah satu liter per hari, mereka harus membayar Rp 75 ribu sebulan. Bila menggunakan gas, cukup Rp 51 ribu sebulan.
Ironisnya, tatkala rakyat mulai terbiasa menggunakan gas, harga bahan bakar rendah polusi ini perlahan naik. Pertamina saat ini menetapkan harga Rp 5.750 dan bertahap naik Rp 500 per kilogram setiap bulan untuk tabung 12 kilogram. Kenaikan terus dilakukan hingga mencapai harga keekonomian Rp 11.400 per kilogram.
Sebagai pemasok tunggal, posisi Pertamina jelas sangat kuat dibandingkan dengan konsumen. Dalih Pertamina menaikkan harga, yakni untuk menambal biaya operasional dan distribusi yang naik akibat harga bahan bakar minyak melonjak, sulit ditolak. Pertamina mengaku akan merugi Rp 6,5 triliun tahun ini tanpa kenaikan harga elpiji.
Lantaran kenaikan itu, harga gas tabung tiga kilogram sekarang lebih murah Rp 2.500 per kilogram dibanding gas tabung 12 kilogram. Jelas saja rakyat ramai-ramai beralih membeli gas tabung tiga kilogram, yang harganya masih disubsidi. Ketika permintaan lebih besar daripada pasokan, hukum pasar pun berlaku: harga gas tabung tiga kilogram terkerek naik. Di beberapa tempat gas jatah rakyat itu bahkan menghilang. Rakyat kecil pun terjepit. Mereka tak bisa kembali memakai minyak karena sulit dicari. Kalaupun ada, harganya Rp 8.000 per liter.
Dalam situasi seperti sekarang, pemerintah sebaiknya tetap pada pilihan menyokong konversi energi. Pasokan gas dan tabung tiga kilogram perlu segera ditambah. Kenaikan harga gas tabung 12 kilogram sebaiknya dibatalkan. Memang perlu subsidi untuk menutup kerugian Pertamina. Tapi subsidi itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan penghematan yang akan terjadi ketika 42 juta rumah tangga tidak lagi menggunakan minyak tanah.
Memang perlu disepakati, subsidi merupakan solusi sementara. Untuk mengamankan program konversi energi dalam jangka panjang, pemerintah perlu lebih ketat mengatur distribusi gas bersubsidi. Distribusi tertutup dengan kartu kendali merupakan salah satu cara.
Alternatif lain adalah mendorong efisiensi Pertamina agar harga keekonomian gas bisa ditekan lebih rendah. Sementara Filipina yang tak banyak memiliki gas saja menetapkan harga cuma sekitar Rp 11 ribu per kilogram, Indonesia yang memiliki banyak kandungan gas di perut buminya mestinya bisa menentukan harga lebih murah.
Tanpa perbaikan kebijakan semacam itu, program konversi energi boleh jadi akan berantakan di tengah jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo