Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menanti Kesaksian Miranda

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH berat tugas Boediono untuk memulihkan citra Bank Indonesia. Baru tiga bulan memimpin bank sentral, dua skandal besar yang terjadi di masa lalu "meledak". Ketika mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu resmi dilantik akhir Mei lalu, ia "disambut" skandal aliran dana Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kasus pada 2004 itu, tiga pejabat penting bank sentral ditetapkan sebagai tersangka dan diadili-termasuk bekas orang pertama Burhanuddin Abdullah.

Skandal pertama belum kelar disidangkan, terkuak skandal kedua. Agus Condro, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengaku menerima Rp 500 juta untuk memenangkan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior. Diperkirakan sejumlah anggota Dewan ikut menikmati "amplop Miranda" itu. Dalam lima tahun pertama masa jabatan Boediono, pekerjaan memperbaiki wajah Bank Indonesia jelas tak mudah, kalau tak bisa dibilang sebuah mission impossible.

Bukan bermaksud melempar pesimisme, perbaikan yang menyangkut kultur biasanya tak segera mendatangkan hasil. Padahal kultur "ringan tangan" memberi bantuan kepada anggota Dewan, misalnya, sudah begitu panjang sejarahnya. Menurut pengakuan Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia Rusli Simandjuntak, di pengadilan tindak pidana korupsi pekan lalu, "tradisi" itu sudah berlangsung sejak 1970-an.

Setelah hampir 40 tahun berlangsung, barangkali banyak pejabat bank sentral tak tahu lagi cara melakukan negosiasi dengan anggota Dewan selain "membeli dukungan". Dikhawatirkan para pejabat "gudang duit" itu masih percaya bahwa jurus "traktir ke luar negeri" atau "kirim amplop" merupakan cara ampuh untuk mengatasi masalah apa saja.

Ingatlah kasus pembentukan otoritas jasa keuangan. Lembaga independen itu, sesuai dengan amanat Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 1999, bertugas mengawasi bank selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Sampai batas waktu tiba, lembaga yang sangat signifikan mengurangi peran Bank Indonesia itu tak kunjung terbentuk. Pemerintah pernah mengusulkan agar lembaga tersebut berdiri paling telat 31 Desember 2008, tapi pihak bank sentral agaknya keberatan. Selanjutnya, dalam pembahasan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia yang berlumur suap dan kasusnya sedang disidangkan di pengadilan antikorupsi, otoritas jasa keuangan diputuskan dibentuk selambat-lambatnya akhir 2010.

Gubernur Boediono pastilah menyadari keadaan ini. Perubahan dan penertiban semestinya menjadi prioritas untuk dilakukan, lantaran di kantornya yang menjulang bercokol banyak pejabat yang tahu atau bahkan terlibat kasus aliran dana Bank Indonesia. Menetapkan aturan perjalanan baru direksi, juga melakukan banyak training, merupakan langkah bagus untuk memulai perubahan.

Kita tahu Boediono bukan tipe pemimpin yang suka bergaya "pukul dulu urusan kemudian". Ia serba berhati-hati, terukur, tidak grusa-grusu. Tapi kali ini ia tak boleh terlalu tenang. Ia mesti bergerak sistematis dengan segera membangun tim baru, seraya memastikan "orang-orang lama" tidak merecoki pekerjaannya.

Ujian terberat Boediono tentulah menyelesaikan kasus Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom. Seandainya Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membuktikan Agus Condro dan sejumlah koleganya benar mendapat aliran duit dari Miranda, tentu ujian bagi pemimpin baru Bank Indonesia itu tak terlalu berat. Ia tinggal menunggu kasus itu terbongkar.

Seandainya kelak terbukti dana pemenangan pemilihan deputi gubernur senior diketahui oleh Miranda dan berasal dari "sponsor" perusahaan tertentu, sebagai anggota Dewan Gubernur, Miranda wajib mengundurkan diri. Salah satu pasal Undang-Undang Bank Indonesia mengharuskan anggota Dewan Gubernur yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perusahaan mana pun untuk mundur.

Posisi deputi gubernur senior, orang kedua bank sentral, sungguh penting. Deputi gubernur tak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, kecuali mundur secara sukarela, atau terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Andaikan Miranda suatu kali diperiksa dan disidangkan, ia tak bisa diberhentikan begitu saja sampai dinyatakan bersalah. Keputusan itu pun mestilah berkekuatan hukum tetap.

Sejauh ini Miranda masih membantah bahwa ia terlibat urusan pengucuran dana untuk proyek pemenangannya. Publik masih menunggu ia bersaksi. Komisi antikorupsi juga belum menyentuhnya. Dengan begitu, agak tak masuk akal berharap Miranda tiba-tiba mengundurkan diri. Artinya, Boediono tetap akan berjalan seiring dengan orang kedua bank sentral itu sembari menyaksikan bergulirnya pengungkapan kasus "amplop Miranda". Bankir perempuan yang tangguh itu baru habis masa tugasnya tahun depan.

Jelas itu satu tantangan berat untuk Boediono. Dengan prestasi baik dan citra diri yang bersih selama ini, mestinya ia sanggup melewati mission impossible itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus