Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMAR majelis hakim agar merek susu dan makanan bayi yang tercemar Enterobacter sakazakii diumumkan ke publik telah mendudukkan konsumen di tempat mulia. Pembeli benar-benar menjadi raja. Sayangnya, keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dua pekan lalu itu mengundang soal baru.
Vonis untuk mengumumkan produsen itu dasarnya penelitian Institut Pertanian Bogor yang dilakukan lebih dari dua tahun lalu. Tidak ada verifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan atas temuan itu. Soal baru muncul di sini. Kalau kelak nama merek susu dan makanan bayi benar-benar dimaklumkan, produk mereka sudah sekian ratus atau ribu batch setelah batch produksi dengan sampel tercemar yang terjaring penelitian IPB itu. Belum tentu batch produksi sekarang masih mengandung bakteri sakazakii, walaupun tak juga ada jaminan merek itu bebas dari bakteri. Barangkali karena khawatir akan dampak dibukanya merek yang diteliti, IPB, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta Menteri Kesehatan mengajukan permohonan banding.
Kepentingan konsumen perlu dijunjung tinggi, tapi produsen perlu diberi kesempatan membuktikan bahwa produknya bebas kuman. Maka, pengadilan banding nanti sebaiknya memutuskan uji ulang oleh tim independen terhadap merek yang dulu dinyatakan tercemar. Perlu disadari, sebaik apa pun peneliti IPB bekerja, tetap saja hasil penelitian itu perlu diperlakukan sebagai temuan pendahuluan. Apalagi sedari awal pengujian IPB didesain untuk berburu bakteri sakazakii, bukan untuk menguji produk.
Keputusan mengumumkan produk yang tercemar dan uji ulang merek tertentu perlu dilakukan dalam satu paket. Ini penting untuk mencegah jatuhnya korban akibat mengkonsumsi produk yang mungkin masih dijual hingga sekarang. Konsumen memerlukan informasi ini untuk mencari produk yang layak dikonsumsi. Bagi produsen, perintah uji ulang merupakan terapi kejut agar mereka tak main-main mengontrol produknya.
Konsumen perlu dipastikan terlindung dari susu serta makanan bayi yang berkuman. Kepastian itu perlu dituntut lantaran hasil penelitian IPB pada 2003, 2004, dan 2006 menunjukkan temuan sakazakii yang cukup konsisten. Kendati belum merenggut korban, temuan itu menunjukkan ada kemungkinan kuman itu benar-benar telah mencemari produk makanan bayi.
Sesungguhnya produsen memiliki kesempatan memperkecil kerugian akibat ditinggalkan konsumen. Mumpung vonis ini belum berkekuatan hukum tetap, produsen bisa mencegah kaburnya konsumen dengan kampanye simpatik: terang-terangan mengakui kesalahan dan memperbaiki produknya. Dengan cara ini, masyarakat akan mengartikan pencemaran bakteri itu sebagai kecelakaan tak disengaja dan kini sudah diperbaiki.
Itulah resep Merck. Ketika pada September 2004 obat super-aspirinnya, Vioxx, diketahui meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke, perusahaan itu segera menarik produk tersebut dari pasar. Sekitar Rp 22,5 triliun hilang dalam sekejap, belum termasuk ganti rugi untuk konsumen. Tapi, hingga sekarang Merck tetap berdiri kukuh, karena konsumen percaya pada kesungguhan dan kredibilitas perusahaan itu.
Kredibilitas memang perlu kita bangun di sini. Dan itu bisa dimulai dari melaksanakan pekerjaan secara profesional. Produsen tak perlu menunggu reaksi konsumen untuk memperbaiki produk yang tercemar. Badan Pengawas Obat dan Makanan pun tak boleh terlambat melakukan verifikasi atas setiap temuan—apalagi sampai dua tahun untuk kasus IPB tersebut.
Konsumen perlu perlindungan atas produk yang dikonsumsinya, tanpa perlu menunggu perintah pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo