Wajar bila orang Indonesia merasa salut bila pemerintah Indonesia atau swasta selalu berusaha mempromosikan Indonesia di luar negeri, terutama di Negara Matahari Terbit. Setahu saya, usaha-usaha seperti itu sudah lama dilakukan di Jepang, antara lain: ikut serta pada Expo 1990 di Osaka, menampilkan reog Ponorogo pada Festival Midosuji, dan Si Burung Merak "Rendra" berakting di Jepang. Namun, usaha yang dilakukan itu tampaknya belum begitu "mengena" pada masyarakat Jepang, sehingga wajar bila muncul pertanyaan: "Indonesia di sebelah mana Bali?" (TEMPO, 2 Februari 1991, Kontak Pembaca). Pada hemat saya, yang masih jarang kita lakukan adalah "memasarkan karya seni melalui media audio-visual". Misalnya film Indonesia. Karena itu, diputarnya film Tjoet Nya' Dhien di Jepang (khususnya Osaka) bagi saya merupakan kebanggaan tersendiri. Paling tidak film itu sangat membantu untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat Jepang yang bertanya tentang Indonesia. Terlepas dari hal di atas, tapi untuk film itu, saya mengucapkan selamat kepada semua kerabat kerjanya, terutama kepada sutradaranya, Bung Eros Djarot, atas keberhasilannya. Saya katakan berhasil karena karya tersebut tidak hanya merebut hati penonton orang Indonesia, tapi juga berkesan di hati orang Jepang. Salah seorang pecinta Indonesia, Dr. Hirabayasyi mengatakan, "Saya sudah melihat film itu dan sekarang ingin melihatnya lagi." Bahkan pihak penyelenggara pemutaran film itu mengatakan, "Film ini cukup banyak peminatnya, sehingga kami memutarnya relatif lama, mulai 9 Februari sampai 1 Maret 1991 (22 hari). Itu dengan masa putar sembilan kali, mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 05.09 (selama 24 jam)." Memang, jika diperhatikan dari pamflet jadwal pemutaran, film-film yang lain cuma 13 hari. Keberhasilan ini tentu karena didukung oleh bintang kawakan Christine Hakim. Seorang novelis Jepang, Osabe Hideo, mengatakan, "Christine Hakim adalah bintang film yang berparas cantik, mampu menampilkan akting yang alamiah." Artinya, setiap peran yang ditampilkannya selalu dijiwai dengan mantap, sehingga tak meninggalkan kesan yang kaku. Barangkali kesan seperti itu dapat mengangkat nama Indonesia di mata internasional. Seperti berhasilnya Indonesia mengikuti festival tahunan yang bertaraf internasional di Hollywood, Amerika Serikat. Akhirnya, kepada pihak yang berkepentingan, terutama dalam mempromosikan Indonesia ke Jepang, dalam rangka menggalakkan ekspor nonmigas, juga perlu digalakkan melalui budaya dan seni, khususnya film. AHMAD DAHIDI Mahasiswa Peneliti Bahasa Jepang Osaka University of Foreign Studies Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini