Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Blok S, Jakarta Selatan, dalam makan siang yang terlambat, kepada saya Yuki bercerita tentang sepotong detail dalam film Djakarta 1966 (Sutradara: Arifin C. Noer, 1982). Yuki Aditya adalah direktur festival film Arkipel, kini kuliah pascasarjana di Institut Kesenian Jakarta. Yuki sedang mendalami film-film yang dibuat di masa Orde Baru. Salah satu hasilnya adalah film dokumenter Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (Sutradara: I Gde Mika, Yuki Aditya).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film keluaran 2022 itu sepenuhnya tersusun dari footage atau cuplikan film-film lawas Indonesia periode Orde Baru. Kedua sutradara secara esaik bertutur tentang film-film lawas itu dalam bingkai semiotika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak detail film lawas, seperti jejeran baju di tali jemuran, diperlakukan sebagai teks dengan over-reading (pembacaan berlebihan). Pembacaan Mika dan Yuki kerap bertabrakan dengan pengalaman saya ketika remaja sewaktu menonton film-film yang mereka bahas itu. Saya menghargai mereka yang menaruh perhatian pada detail, pada hal-hal tersisih: yang remeh dan yang remah.
Saya tertarik ketika Yuki berbicara tentang detail salah satu film Arifin tentang kelahiran Orba. Mula-mula yang dibahasnya adalah Catatan Harian Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie (LP3ES, 1983). Gie mencatat bahwa ada dua orang yang tewas tertembak dalam demonstrasi mahasiswa 24 Februari 1966: Arief Rahman Hakim dan Siti Zubaedah. Yuki heran, kenapa Zubaedah hilang dari catatan sejarah.
Yuki mengatakan bahwa Djakarta 1966 pun tak menyebut sosok itu. Film itu hanya menggambarkan ada seorang mahasiswi tertembak. Ia mencatat film-film sejarah pada periode itu bergulat dengan jejaring kuasa rezim yang total mengawasi ekspresi budaya warga negara.
Bagi saya, kehadiran mata segar penonton film-film Indonesia lawas itu istimewa. Pertanyaan Yuki penting karena membuka “pintu ke mana saja” dalam menafsir ulang bangsa ini.
Mata-mata segar itu bisa kita temukan di banyak tempat. Mata yang menatap arsip, artefak, atau data lama, dan menyusun ulang sejarah serta gagasan “Indonesia” secara individual ataupun dalam kolektif-kolektif.
Kineforum-Dewan Kesenian Jakarta, misalnya, setiap Maret sejak 2007 membuat acara “Sejarah adalah Sekarang”. Program ini melahirkan angkatan penonton baru, generasi kelahiran 1990-an hingga awal 2000-an, yang menyusun kanon-kanon film Indonesia secara terpisah, menyempal dari kanon film “kultural edukatif” era Orde Baru. Kanon mereka, setidaknya, jadi kanon alternatif.
Pada kelompok ini, film-film Warkop, Benyamin, atau Duo Kribo, juga karya para sutradara yang dimusnahkan atau disisihkan telah menjadi wajah (sinema) Indonesia sesungguhnya. Setidaknya mereka layak diperhatikan seperti kita memperhatikan film-film Teguh Karya atau Usmar Ismail. Lisabona Rahman, salah satu pencetus program Kineforum, kini mendalami ilmu restorasi film dan bekerja di Berlin, adalah contoh lain.
Salah satu proyeknya bersama kolektif Liarsip: menggali arsip Ratna Asmara, perempuan sutradara pertama Indonesia. Ratna nyaris terhapus dari sejarah. Yang tersisa hanya satu filmnya, Dr. Samsi (1952), yang rusak dan direkam digital oleh Liarsip bersama kolektif Mini Kino di Bali. Film ini pernah diputar untuk khalayak terbatas.
Salah satu anggota Liarsip, Umi Lestari, menerbitkan buku Biang Kerok Kenikmatan, Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia (Penerbit Footnote, 2023). Umi menyodorkan tesis bahwa, dalam mencipta, Nawi menggunakan bahasa sinema khas “film Indonesia”.
Kiprah para penggali arsip ini ada juga di bidang tari, seni rupa, sastra, teater, musik, arsitektur, sejarah, fashion, budaya petani, perburuhan, perubahan iklim, dan banyak lagi. Mereka tumbuh sebagai subkultur yang cair, membentuk diri menjadi komunitas-komunitas kreatif.
Saya menyebut mereka sebagai jejaring gagasan. Sebuah jejaring organik yang bekerja secara informal ataupun formal untuk memahami masalah-masalah kebudayaan yang spesifik di hadapan mereka lewat karya ciptaan. Kiprah mereka, sengaja atau tidak, menjadi gerak kebudayaan yang berhadapan dengan jejaring kuasa negara dan kapital dalam menulis ulang Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo