Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bancakan Proyek Food Estate Merauke

Lumbung pangan di Merauke berisiko gagal. Memunculkan wasangka bagi-bagi proyek.

22 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA pemerintah membangun lumbung pangan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, seperti memutar lagu lama. Di atas hamparan gambut dan rawa, proyek cetak sawah dan perkebunan tebu itu diragukan berhasil dan malah berisiko merusak alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto tengah menggeber food estate di Merauke seluas 2,29 juta hektare atau 70 kali luas Jakarta. Dibagi dalam lima kluster, pemerintah mengklaim proyek strategis nasional ini bakal mewujudkan swasembada beras pada 2027 serta memenuhi kebutuhan gula dan bioetanol setahun kemudian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak bisa ditampik, Indonesia memang membutuhkan stok makanan untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan masa depan. Luas lahan pertanian yang terus menyusut, ketergantungan pada impor, serta rendahnya produktivitas petani bisa memicu kelangkaan suplai bahan pokok di pasar. Ketahanan pangan yang berkelanjutan membutuhkan perencanaan matang.

Perencanaan megaproyek Merauke jauh dari matang. Salah satunya menyangkut model bisnis yang bisa memastikan program ini berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.

Di lapangan, proyek cetak sawah dan perkebunan tebu jalan sendiri-sendiri. Jokowi tahun lalu meluncurkan program perkebunan tebu dan industri bioetanol seluas 1,11 juta hektare di Merauke selatan. Lewat Bahlil Lahadalia, ketika itu Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, pemerintah berusaha menggandeng investor untuk melaksanakan program ini. 

Sementara itu, Prabowo, melalui Menteri Pertanian Amran Sulaiman, mengebut program cetak sawah di sisi utara Merauke seluas 1,18 juta hektare. Pengusaha asal Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, digandeng untuk membuka lahan. Isam mendatangkan ribuan ekskavator senilai Rp 4 triliun. Pada akhir Juli 2024, gelombang pertama alat berat dari Cina itu tiba di Kampung Wanam.

Tanpa kriteria yang jelas, keterlibatan Isam dalam proyek lumbung pangan itu mudah dituduh sebagai ajang bagi-bagi kue dan balas budi politik. Begitu pula dengan masuknya calon anggota konsorsium di perkebunan tebu. Mereka adalah para pengusaha yang dulu mendukung Jokowi pada periode pertama dan kedua pemerintahannya. 

Pemerintah semestinya belajar dari kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2010, Yudhoyono menggulirkan proyek serupa, yakni Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE seluas sekitar 1,2 juta hektare. Lebih dari satu dekade, proyek itu gagal mewujudkan target swasembada. Pemodal domestik ataupun internasional lari lintang pukang.

Salah satu sebab: investor harus berhadapan dengan ruwetnya pengadaan lahan karena menyangkut tanah masyarakat adat dan hak ulayat. Penentuan batas tanah kerap memicu konflik horizontal. Buruknya infrastruktur membuat biaya produksi dan pascapanen membengkak. Produktivitas rendah karena tak semua wilayah cocok ditanami padi, tebu, atau jagung. Tanah yang asam membuat pengolahan lahan menjadi mahal karena dibutuhkan pupuk yang banyak.

Program lumbung pangan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, juga banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Pembukaan 600 hektare hutan alam untuk perkebunan singkong oleh Kementerian Pertahanan pada 2020 memicu pelepasan 250 ribu ton emisi karbon. Di musim hujan, hilangnya hutan menyebabkan banjir.

Di Merauke, kajian lingkungan hidup strategis baru dibuat setelah pemerintah menetapkan lokasi. Padahal kajian seharusnya diadakan di awal proyek karena berkaitan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta komoditas dan lahan yang cocok untuk tujuan penanaman. Penyusunan program yang serampangan menunjukkan minimnya kehati-hatian pemerintah mengelola sumber daya alam.

Prabowo tidak perlu tergesa-gesa meneruskan rencana ini. Pekerjaan besar swasembada pangan butuh napas panjang, bukan proyek kilat satu-dua tahun. Kegagalan berulang proyek lumbung pangan mudah memicu syak bahwa program itu sengaja dibuat untuk memberi cuan kroni Jakarta saja.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bancakan Proyek Swasembada Pangan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus