Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1988-1993, Presiden Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan V dengan 41 menteri. Kini, 36 tahun kemudian, Prabowo Subianto yang pernah menjadi menantunya besar kemungkinan akan menyusun kabinet dengan jumlah yang kurang-lebih sama. Bisa jadi “pemerintahan yang terdiri atas anak-anak terbaik tanpa memandang suku, agama, ras, dan latar belakang”, seperti janji kampanye Prabowo, itu akan lebih kental dengan politik akomodasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pintu pembentukan kabinet “gemoy”—istilah yang dipakai selama kampanye untuk personifikasi Prabowo—itu telah dibuka setelah Dewan Perwakilan Rakyat secara cepat menyetujui perubahan atas Undang-Undang Kementerian Negara. Dalam aturan baru, presiden bebas menentukan jumlah anggota kabinetnya. Tak lain dan tak bukan, pembahasan kilat itu dilakukan demi memenuhi rencana Prabowo menambah jumlah menteri. Dalam undang-undang sebelumnya, kabinet maksimal beranggotakan 34 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika hal itu benar dilakukan, Prabowo akan memimpin kabinet terbesar sejak era Reformasi. Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo hanya memiliki 34 menteri. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang menggantikan Soeharto, pun hanya menunjuk 38 menteri. Kabinet rame-rame hanya ada pada era Demokrasi Terpimpin, terutama kurun 1962-1966, dengan jumlah menteri terbanyak 132 orang pada 24 Februari-28 Maret 1966.
Para anggota koalisi pendukung berdalih, penambahan jumlah menteri diperlukan agar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bisa mewujudkan janji kampanye mereka. Kalangan dekat Prabowo juga menyatakan kabinet akan diisi lebih banyak kalangan profesional atau dikenal sebagai kabinet zaken. Namun, sulit dimungkiri, penambahan kabinet dilakukan demi menampung perwakilan partai-partai dan kelompok pendukung.
Prabowo-Gibran disokong Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan sejumlah partai kecil, seperti Partai Solidaritas Indonesia. Belakangan, setelah mereka memenangi pemilihan presiden, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera yang semula mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ikut bergabung. Prabowo ada kemungkinan juga masih berusaha memasukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Komposisi itu tak mungkin dijauhkan dari penjatahan kursi menteri.
Kebutuhan akomodasi juga masih bisa ditampung di badan-badan baru nonkementerian yang akan dibentuk. Di antaranya Badan Gizi Nasional, Badan Pengelola Pengendali Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon, serta Badan Penerimaan Negara. Total kabarnya ada 21 badan baru. Bisa dibayangkan, pemerintahan baru nanti akan tambun dan penuh cabang. Tak sekadar menambah keperluan anggaran, kabinet gemuk dan badan-badan baru membuat birokrasi berjalan lambat.
Pengalaman menunjukkan, perubahan bentuk kabinet justru membuat kementerian baru tak bisa segera bergerak. Organisasi baru memerlukan waktu untuk berkonsolidasi, termasuk untuk penentuan pejabat dan pemindahan pegawai. Di luar urusan teknis, ada banyak program yang seharusnya berkesinambungan dan membutuhkan struktur stabil agar dapat mengejar jangka panjang target, misalnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
Dari sisi bujet, penggemukan kabinet jelas akan menambah beban anggaran negara. Kementerian Keuangan sudah mengutak-atik anggaran agar dapat membiayai kementerian baru kelak. Meski begitu, yang patut disadari, Prabowo sebetulnya hanya memiliki ruang fiskal terbatas. Terutama dengan tingginya jumlah utang yang jatuh tempo pada tahun depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kabinet Gemoy Presiden Gemoy"