Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUSUTAN kasus dugaan korupsi Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) seharusnya menjadi kesempatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk sedikit memperbaiki reputasinya. Namun, menjelang akhir masa jabatan pimpinannya, KPK justru terkesan masih bermain-main dengan kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu indikasinya adalah pernyataan yang bertolak belakang dari dua pejabat KPK. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyebutkan sudah ada lima tersangka dalam dugaan markup dana penempatan iklan BJB. Namun, pada kesempatan berbeda, juru bicara KPK menyatakan kasus ini belum naik ke tahap penyidikan, yang berarti belum ada tersangka.
Secara substansi, indikasi korupsi dalam kasus BJB ini cukup benderang. Melalui sejumlah agensi iklan, BJB diduga menggelembungkan dana promosi dan publikasi. Biaya tersebut diduga dikatrol secara ugal-ugalan agar selisihnya bisa dinikmati pihak-pihak tertentu, termasuk orang-orang di lingkaran dekat pejabat daerah. Diperkirakan BJB telah menghamburkan dana sekitar Rp 200 miliar dalam kurun 2021-2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih jauh, ada indikasi keterlibatan auditor negara dalam kasus ini. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan hanya menyimpulkan adanya pemborosan uang negara. Badan auditor itu seharusnya lebih tegas dengan menyatakan adanya kerugian negara yang signifikan dalam kasus ini.
Sejak masa pemerintahan Joko Widodo, terutama pada periode keduanya, integritas KPK dan lembaga penegak hukum lain serta auditor negara memang kerap dipertanyakan publik. Setelah dilemahkan dan dibuat tidak independen, makin terlihat bahwa KPK—juga lembaga penegak hukum lain—sering dijadikan alat oleh penguasa untuk melindungi kawan dan melibas lawan politiknya.
Jika KPK berani mengusut kasus BJB tanpa pandang bulu, bukan tidak mungkin banyak pihak akan terseret. Seperti kasus-kasus korupsi lain, keuntungan tindak pidana korupsi biasanya tidak hanya dinikmati segelintir “pemain lapangan”, tapi juga mengalir kepada aktor-aktor lebih penting yang menutup mata atau bahkan memfasilitasi terjadinya korupsi. Selain melibatkan pejabat internal BJB, kasus ini bisa saja menyeret agensi iklan, pejabat daerah, bahkan auditor negara.
Namun pernyataan yang bertentangan dari pejabat KPK menjadi sinyal kuat bahwa pengusutan kasus ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Karena Direktur Penyidikan KPK sudah menyebutkan adanya lima tersangka, komisi antikorupsi seharusnya segera mengungkap identitas para tersangka dan sejauh mana keterlibatan mereka dalam kasus ini. Sikap KPK yang tidak transparan hanya akan memupuk kecurigaan masyarakat: jangan-jangan KPK berbalik arah karena aktor penting kasus ini telah merapat ke lingkaran inti kekuasaan.
Dengan masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir pada Desember tahun ini, sudah seharusnya mereka menunjukkan keseriusan dan tanggung jawab untuk meninggalkan warisan yang baik. Menuntaskan kasus BJB hingga ke akar-akarnya bisa menjadi kesempatan bagi KPK untuk sedikit memperbaiki reputasi yang telah lama tergerus.
Sayangnya, harapan publik akan kembalinya KPK yang independen dan tidak tebang pilih masih terasa jauh dari kenyataan.