PERISTIWANYA dimulai ketika indeks Dow Jones - yang merupakan barometer harga saham di Wallstreet, New York turun 108,4 point pada 16 Oktober lalu. Selang dua hari, ketika ursa dibuka kembali, indeks harga saham itu melorot lagi secara dramatis menjadi 508,3 point. Pada Jumat dan Senin itu, diperkirakan jutaan orang kehilangan kekayaannya sebesar US$ 500 milyar. Ketika harga saham jatuh pada 29 Oktober 1929, kejadian yang mengawali depresi dunia di tahun 1930-an, para pemilik saham cuma kehilangan US$ 40 milyar. Begitu hebatnya depresi melanda, ekonomi Amerika bukan saja jadi mandek, tapi juga mengalami kontraksi. Dalam tempo dua tahun, pendapatan nasional tinggal separuh. Jumlah pengangguran melonjak dari 1 juta menjadi 12 juta orang. Depresi ml berlangsung sampai pada 1939, ketika ekonomi harus mulai dimobilisasi untuk keperluan perang. Ada beberapa hal yang dianggap penyebab anjloknya harga saham di New York pekan lalu. Pertama, naiknya suku bunga primer (suku bunga yang diberikan bank-bank kepada nasabah utamanya) dari 1% menjadi 9,7%. Suku bunga setinggi ini dipandang cukup menarik, karena lebih banyak memberi keuntungan daripada dividen saham. Ini menyebabkan para pemilik saham melepas saham mereka, dan menaruh uangnya sebagai deposito di bank-bank. Kenaikan suku bunga ini bisa berasal dari usaha untuk mengatasi inflasi. Karena kurs dolar yang sudah rendah terhadap beberapa mata uang terkemuka telah menyebabkan kenaikan harga barang impor AS. Bisa pula berasal dari permintaan kredit yang meningkat dari ekspansi ekonomi AS yang masih terus berlangsung. Tapi permintaan itu bertabrakan dengan kebutuhan pemerintah federal di pasar uang akan tambahan kredit untuk menutupi defisit anggaran belanja. Kedua, faktor yang mendorong penjualan saham secara besar-besaran adalah belum menentunya kurs dolar. Pemilik saham takut kemerosotan kurs itu akan mengurangi nilai dividen mereka. Dalam pertemuan di Louvre, Februari lalu, pemimpin-pemimpin negara industri berpendapat bahwa kurs dolar terhadap mata uang lain sekarang ini sudah merupakan kurs yang tepat -- sesuai dengan perkembangan ekonomi di tiap negara. Tekad mempertahankan kurs dolar itu mereka ulangi pada pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington, bulan lalu. Pasar uang ternyata punya persepsi lain tentang kurs ini. Mereka mengetahui bahwa kurs dolar yang kelihatannya stabil itu ternyata ditopang secara artifisial. Pertama, ditopang oleh suku bunga yang secara historis masih tinggi. Kedua, ditopang oleh bank sentral negara-negara industri dengan membeli dolar secara besar-besaran, agar mata uang itu tidak terlalu jatuh. Diperkirakan, pembelian dolar oleh bank-bank sentral ini sudah mencapai US$ 90 milyar. Sampai kapan bank-bank sentral itu sanggup menopang kurs dolar? Pasar uang di seluruh dunia gelisah terus. Karena mereka tahu bahwa kurs dolar sekarang ini bukan kurs sebenarnya -- tidak seluruhnya mencerminkan kekuatan dolar itu sendiri. Akibatnya kepercayaan terhadap dolar masih rapuh. Sehingga gejolak kecil, karena psikologi pasar, bisa menimbulkan guncangan luas. Di samping itu, ada dua unsur fundamental lain yang berpengaruh besar terhadap kekuatan dolar: yaitu defisit anggaran belanja pemerintah dan defisit neraca perdagangan AS. Sekalipun dalam tahun fiskal 1987, yang berakhir September lalu, pemerintah AS telah berhasil menurunkan defisit sebesar US$ 70 milyar, defisit yang terjadi sebesar US$ 155 milyar masih dianggap terlalu besar. Ini menunjukkan pemerintah AS belum bisa menerapkan "disiplin anggaran", sehingga perekonomiannya belum memiliki struktur yang kukuh. Bahwa ekonomi Amerika masih hidup di luar batas kemampuannya bisa dilihat dari defisit neraca pedagangan mereka. Tahun lalu, defisit US$ 156 milyar. Tahun ini diperkirakan naik menjadi US$ 171 milyar. Untuk bisa mengatasi defisit neraca perdagangannya, AS harus bisa meningkatkan ekspornya, dan salah satu cara yang cukup ampuh adalah dengan melakukan devaluasi dolar. Stephen Marris, ekonom pada Institute for International Economics di Washington, membuat sebuah model perhitungan yang menunjukkan bahwa bila Amerika ingin mempunyai neraca perdagangan yang seimbang pada 1990, kurs dolar harus turun lagi 20%. Menurut Marris, bila kurs dolar sekarang dipertahankan, defisit neraca perdagangan akan selalu lebih dari US$ 100 milyar. Pada 1989, bisa lebih tinggi lagi, karena pembayaran utang dan bunga untuk menutup defisit ini menjadi begitu besar, sehingga mengalahkan perbaikan yang terjadi pada neraca jasa-jasa. Defisit US$ 100 milyar tiap tahun merupakan jumlah yang terlalu besar buat diserap oleh pasar uang. Sejauh mana pengaruh gejolak ekonomi dunia akhir-akhir ini terhadap ekonomi Indonesia? Ada tiga jalur tempat gejolak itu akan lewat dan mempengaruhi ekonomi Indonesia. Pertama, gejolak pada kurs dolar yang terjadi. Kedua, tingkat suku bunga yang merupakan respons terhadap gejolak kurs dolar. Ketiga, sejauh mana resesi yang diakibatkan kedua unsur itu menentukan permintaan terhadap ekspor Indonesia. Indonesia, yang harus membayar utang luar negerinya tahun ini dan tahun depan masing-masing US$ 6 milyar, berkepentingan agar gejolak kurs dolar dan suku bunga tidak terjadi. Hampir separuh utang luar negeri Indonesia diberikan dalam denominasi mata uang yen dan DM -- di samping dolar. Karena sebagian besar devisa Indonesia diperoleh dalam bentuk dolar, kenaikan kurs yen dan DM terhadap dolar, apalagi kalau ditambah dengan naiknya suku bunga, akan menambah beban pembayaran utang luar negeri kita. Amerika makin merupakan pasar penting bagi ekspor Indonesia, terutama untuk ekspor nonmigas. Jepang, yang merupakan pembeli terbesar sebelumnya, mulai tergeser. Amerika merupakan pembeli terbesar beberapa komoditi penting Indonesia, seperti tekstil, karet, kelapa sawit, dan kopi. Resesi yang terjadi di Amerika sekarang ini akan punya pengaruh besar bagi ekspor Indonesia dibandingkan masa sebelumnya. Tampaknya, mekanisme untuk melakukan respons terhadap gejolak di Wallstreet, Senin pekan lalu, sudah jauh lebih canggih dari yang tersedia pada Oktober 1929. Komunikasi dan koordinasi kebijaksanaan antarnegara industri, meski belum sempurna, telah mampu menahan gejolak yang lebih parah. Sekalipun mungkin untuk sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini