Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari pada bunuh diri

Jakarta : pustaka azet, 1987 resensi oleh : a.a. navis.

31 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT-SURAT DARI SUMATERA Oleh: J.J. van de Velde Penerbit: Pustaka Azet, 1987 244 halaman SEORANG antropolog asuhan Prof. Van Vollenhoven diangkat menjadi aspiran kontrolir di Aceh pada tahun 1928. Semenjak itu sampai tahun 1950 ia terus-menerus di Indonesia memangku berbagai jabatan pada pemerintah Hindi Belanda, yang terakhir menjadi penasihat ahli dan anggota delegasi J.H. van Royen menjelang KMB. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia menjadi tawanan Jepang di Sumatera Utara. Antropolog itu Dr. J.J. van de Velde. Selama bertugas, bahkan ketika dalam kamp tawanan, ia membiasakan dirinya dengan rajin menulis surat kepada sanak famili, rekan, dan sahabatnya. Atau, kepada instansi yang berhubungan dengan dinasnya. Buku ini menghidangkan sebagian dari surat-suratnya dalam empat periode, yakni di Aceh tahun 1928-1934. Di Tapanuli tahun 1935-1942. Di kamp tawanan tahun 1942-1945, dan selama masa dekolonisasi 1945-1949. Sebagai ilmuwan ia tidak menulis surat seperti pejabat kolonial yang berpandangan sempit dan merendahkan bangsa jajahannya. Dari membaca surat-suratnya --yang memang bisa mengasyikkan itu-- kita akan banyak tahu tentang berbagai masalah yang selama ini tak dikenal. Misalnya, apa yang menjadi tugas seorang kontrolir -- jabatan paling rendah dalam sistem pamong praja berbangsa Belanda. Di samping kepala pemerintahan di suatu wilayah, ia juga menjadi petugas dalam sensus, penetapan pajak, pembangunan jalan, bahkan juga menjadi anggota kerapatan adat dalam memutuskan perkara adat, baik dalam pemilihan kepala desa, urusan perceraian, maupun pembagian harta pusaka. Menarik sekali apa yang ditulisnya berkenaan dengan tugasnya yang terakhir. Beberapa kali ia berkisah tentang tuntutan perceraian oleh wanita-wanita Aceh atas suami mereka yang tak disukai -- karena menggambarkan betapa wanita itu mempunyai martabat dan menyadari hak-haknya. Juga sangat menarik pengaruh Hikayat Perang Sabil yang digubah dalam bentuk puisi kepada lelaki Aceh dalam menyelesaikan masalah yang sangat mengecewakannya, misalnya karena dikhianati istrinya, atau dihina, kemudian tak melihat jalan lain kecuali mencari kematian. Daripada bunuh diri, mereka lebih suka mencari mati dengan membunuh orang kafir, seperti orang Belanda terutama yang militernya. Sebab, dengan mati setelah membunuh orang kafir, mereka yakin jadi mati syahid. Ketika bertugas di Balige ia menyaksikan juga cara pemilihan kepala desa. Katanya: kalau di suatu tempat, seorang kepala desa atau kepala adat meninggal, atau terpaksa diganti disebabkan menderita sakit yang berkepanjangan, maka para calon pengganti bersama semua pengikutnya sibuk mengadakan rapat-rapat. Peristiwa itu mirip suatu kampanye mini pemilihan presiden di AS. Orang-orang Batak hampir semuanya pandai berbicara, maka para calon mengucapkan pidato muluk di mana-mana, dengan harapan mendapat dukungan. Baik selama bertugas di Aceh maupun di Tapanuli Utara, Van de Velde merasa dirinya bahagia oleh situasi yang aman tenteram dan banyak mendapat simpati dari pribumi yang diperintahinya. Akan tetapi pada waktu Jepang mula datang, ia segera melihat kenyataan yang sangat berlainan. Serta-merta rumahnya dirampoki penduduk. Sungguh humanistis pandangannya atas peristiwa itu. Ia berpikir bahwa perampokan itu bermotifkan daripada jatuh ke tangan Jepang maka rakyat itu lebih suka mendahului mengambilnya. Sebenarnya, ia lupa: anak jajahan tak suka pada penjajah. Pada periode keempat, yaitu masa dekolonisasi atau pada masa revolusi Indonesia. Van de Velde menulis surat-suratnya tentang situasi atau yang bermain di belakangnya. Namun, dengan sedikit berfantasi akan tergambarkan bahwa pertempuran yang terkenal dengan "peristiwa di Medan Area" tak banyak bedanya dengan pertempuran "10 November" di Surabaya. Bahkan lukisan yang dijumpai pada film Naga Bonar bukanlah merupakan khayalan. Di samping itu juga ditemui peristiwa "belot"-nya Dokter Mohammad Amir ke pihak Belanda. Padahal, ia salah seorang tokoh perancang UUD 45 sebagai wakil dari Sumatera bersama T. Muhammad Hassan, tokoh yang ikut terlibat dalam "Polemik Kebudayaan", seorang intelektual terkemuka yang dibanggakan kaum nasionalis di Medan. Kita dapat membaca buah pikirannya tentang Republik Indonesia yang ia ikut dirikan. Jelas, ia tak sama dengan Dokter T. Mansur yang menjadi Kepala Negara Sumatera Timur. Van de Velde juga menilai bahwa banyak anggota KNIL di bawah pengetahuan komandannya sama dengan "kaum ekstremis" dalam melakukan perampokan di rumah-rumah penduduk. Dan ia mencela kedua-duanya. Dari surat-suratnya itu kita tahu bahwa Kapten Westerling pertama kali beraksi melakukan "teror" di Medan, sebelum ia dikenal pada peristiwa di Sulawesi Selatan dan APRA di Bandung. Akan tetapi yang paling menarik dimuatnya sebuah memo dari Van de Velde selaku penasihat ahli tentang Sumatera kepada Van Royen sepanjang 20 halaman, yang berjudul Sumatera dan Konperensi Meja Bundar -- Usaha untuk Menganalisa Keadaan di Sumatera. Memo yang bersisikan pandangannya terhadap kekeliruan pihaknya yang memandang Sumatera merupakan kekuatan anti-Republik. Ia melukiskan kekuatan Republik atas berbagai daerah seperti Aceh, Mandailing, Sumatera Barat, dan kesalahan sikap beberapa "kepala nagara" di Sumatera yang sebenarnya kesalahan utama Belanda dalam memilih mereka. Dikemukakannya juga pandangan agar Belanda tidak berpikir lagi untuk membubarkan TNI dalam melakukan perundingan, karena pikiran tersebut berarti akan menggagalkan semua upaya damai yang ingin dicapai semua pihak. Memo yang panjang itu melukiskan kualitas Van de Velde sebagai seorang antropolog atau ilmuwan yang mampu memandang masalah secara obyektif, meski dalam kehidupannya ia telah diguncang kesulitan yang bisa menimbulkan emosi dan subyektivitas. Pengalamannya yang dinukilkan dalam surat-surat itu, sesungguhnya, telah didahului oleh firasat pada waktu ia akan menginjakkan kakinya di ujung utara kepulauan Indonesia. Katanya, ia ingat pada ramalan Jenderal Mathol de Jongh, ketika belajar Indologi. Jenderal itu mengatakan, Belanda tak akan lebih dari 25 tahun lagi menguasai Hindia. Ia ternyata generasi terakhir dari amtenar BB (Binnenlands Bestuur) Belanda di Hindia Belanda. Ramalan itu benar. Sebuah buku yang betul-betul menarik. Dan patut diteladani oleh pejabat pemerintah kita, terutama para menteri, gubernur, ataupun bupati untuk membiasakan dirinya menulis pada buku hariannya. Catatan atau surat-surat itu akan sangat lebih berarti daripada penulisan buku biografi atau otobiografi yang berisikan ingatan-ingatan yang terkadang sudah terlupakan, yang menjamur saat-saat ini. A.A. Navis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus