PARA tikus, waspadalah. Tak akan ada lubang buat bersembunyi. Peringatan ini berlaku sejak turunnya SK No. 005/144/ kec.VlI/1987. Surat keputusan yang dikeluarkan Camat Susukan, Cirebon, Juli lalu itu spontan disambut hangat. Soalnya, 300 hektar tanaman padi gagal dipanen gara-gara tikus merajalela di dua belas desa di kecamatan itu. "Ketentuan itu berlaku untuk siapa saja, dan tak pandang bulu," kata Camat Nuh Hidayat kepada Agung Firmansyah dari TEMPO. Dan berlomba-lombalah penduduk di sana mengejar tikus. Ada sebabnya. Yang namanya surat nikah, talak, cerai, minta kredit ke BRI, membuat KTP atau Surat Berkelakuan Baik semua dihubungkan dengan buntut tikus. Calon TKW yang ingin bekerja ke luar negeri jangan harap bisa berangkat sebelum setor 75 ekor tikus ke kantor kecamatan. Karena itu, Sobari akhir September lalu hampir saja membatalkan perkawinan anaknya. Mencari 50 buntut tikus untuk menebus surat nikah tak gampang. Sobari, 42 tahun, mengaku cukup repot kalau harus mencari sendiri. Karena itu, ia terpaksa mengupah orang lain. "Setiap ekor saya hargai Rp 50,00," katanya sambil tertawa. Yang bingung bukan hanya Sobari. Beberapa penduduk desa gagal mengurus KTP karena sulit memperoleh 25 buntut. Padahal, mereka bisa mencicil atau mengupah orang. "Mereka hanya malas saja," kata seorang pamong desa. "Yang penting, hama tikus bisa diberantas, dan panen sukses. Itu semua untuk masyarakat juga," sambung pamong desa yang lain. Hasilnya. Delapan ribu tikus "buronan" jadi bangkai. Sementara itu, setiap hari sedikitnya 400 ekor tikus terus disetor. Nah, kalau habis, apa perlu dibuka peternakan tikus, Pak Camat? Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini