Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda pernah menonton pentas wayang kulit Jawa? Ah ngaku saja kalau tidak pernah. Atau pernah tapi cuma menonton adegan goro-goro tatkala Semar bersama tiga putranya, Bagong, Gareng, dan Petruk muncul di kelir. Hanya pentas wayang kulit Jawa ada adegan goro-goro, wayang kulit daerah lain tidak ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Goro-goro bisa dijadikan selingan oleh Ki Dalang agar penonton tidak bosan dengan sabetan atau kata-kata bijak dari para kesatria dan dewa-dewa. Goro-goro mewakili bahasa rakyat, para punakawan itu kritik sana kritik sini, bisa mengundang penyanyi dangdut atau pelawak sungguhan ke pentas wayang kulit. Ini saat jeda tapi ini yang hiruk pikuk. Berikut saya beri contoh bagaimana dialog keempat punakawan wayang kulit khas Jawa ini saat goro-goro.
Bagong: Aku ya heran saja, kenapa Ratna Sarumpaet langsung minta maaf dan mengakui kebohongannya begitu polisi mengumumkan temuannya yang secara jelas dan gamblang membuktikan penganiayaan itu hoax.
Gareng: Itu karena skenarionya terlalu dangkal. Ratna menyebut dianiaya di sekitar bandara Bandung, dipukuli tiga lelaki di taksi, diinjak-injak perutnya, dibuang ke jalan, lalu babak belur naik taksi menuju rumah sakit di Ciawi. Bandung itu kan ramai, masak tak ada orang lihat dan ribut-ribut. Rumah sakit ya bisa dicek polisi, benar apa tidak. Hape yang digunakan juga bisa dilacak polisi, ternyata tak ada sinyal Bandung. Lagi pula kok Ratna gak melapor ke polisi, aneh bin ajaib, gitu lo.
Petruk: Reng, sampeyan mau bilang awalnya kebohongan ini disengaja untuk maksud-maksud tertentu dan sudah by design, weleh..weleh.. aku nginggris...
Gareng: Yalah Truk... Kan penganiayaan itu sudah diberi tahu ke Prabowo, ke Fadli, bahkan pipi Ratna sudah diperiksa dokter Hanum Rais, anaknya Amin Rais. Mereka ini kemudian menyebarkan ke wartawan dengan tambahan opini yang menggebu. Media pun ramai menulis. Orang pada yakin itu penganiayaan kelas berat. Tokoh seperti Fahri Hamzah, Rizal Ramli, Benny K. Harman, dan banyak lagi, dapat amunisi menyerang pemerintah sebagai tak becus menjaga warganya. Bahkan diduga pemerintahlah yang berada di belakang preman itu. Andai skenarionya sedikit rapi, bilang kek dianiaya di Depok, mungkin polisi tak begitu cepat menangkap pengibulan ini.
Bagong: Aku ya tetap heran, kok tiba-tiba kemudian diakui itu bohong? Kan konco-konconya jadi ketahuan seolah-olah dungu, eh, maksudku gak punya nalar. Kenapa gak tetap saja bohong? Misalnya, bilang waktu ke Bandung tak bawa hape, mau ke rumah sakit dokternya tak ada, maka balik ke Jakarta dan hanya operasi plastik yang menyelamatkan lebam wajah itu.
Semar: Ngomongin opo toh? Ora wis-wis bocah iki rek... Gusti Allah mboten sare. Semua ini pekerjaan Semesta Maha Agung. Ambil hikmahnya. Siapa tahu Jeng Ratna itu memang dikirim Hyang Semesta untuk menelanjangi para politikus yang haus kuasa dengan segala cara. Dia pemain drama dari muda, ya, sudah biasa melakoni diri sebagai korban. Hikmahnya adalah para politikus yang kini tergerus integritasnya dan harusnya malu untuk tampil di depan umum, bisa introspeksi diri. Dibanding balik menyerang Ratna, mbok ya berhenti main politik dengan cara memusuhi lawan pakai caci maki, menuduh ini-itu. Berpolitiklah yang santun dengan menjadikan lawan politik sebagai partner. Wong politik itu dasarnya adu ide dan gagasan untuk membangun negeri yang sama-sama milik kita. Sudahlah, akhiri di sini. Ayo Bagong, Gareng, Petruk buka kantong celanamu, urunan duit, kita sumbangkan ke Palu. Yuk anak-anakku...