Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak boleh berputus asa setelah gagal melelang harta karun dari dasar laut. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mestinya melakukan evaluasi mengapa lelang ratusan ribu artefak barang muatan kapal karam yang diduga milik dinasti Tiongkok di perairan Cirebon, Jawa Barat, itu sama sekali tak diminati kolektor dunia.
Pemain barang antik dan kolektor dunia jelas keheranan dengan prosedur lelang yang digelar secara amatiran itu. Selain mendadak, panitia tak menyiapkan katalog yang memadai. Kontak dengan balai lelang terkemuka juga tak dilakukan. Cara menawarkannya pun ditentukan secara gelondongan-bukan keping demi keping sebagaimana lazimnya dilakukan balai lelang. Ganjil pula jika calon peminat harus menyetor uang dalam jumlah besar.
Menjalin kontak dengan pemerintah Cina boleh saja dilakukan untuk menjajaki peluang datangnya rezeki nomplok dari negeri asal harta karun itu. Santer terdengar pemerintah Negeri Tirai Bambu hendak membeli barang-barang leluhur mereka yang terserak di luar negeri, termasuk Indonesia. Namun proses negosiasinya tentunya tak gampang dan butuh waktu lama agar dicapai kesepakatan saling menguntungkan.
Rencana membangun museum artefak bawah laut bukanlah solusi jangka pendek yang tepat. Sebab, pemerintah harus kreatif mencari dana untuk proyek pembangunan museum itu lantaran bujet negara kini sangat cekak. Apalagi museum bahari baru saja kelar dibangun di dekat Candi Borobudur di Magelang. Harta karun itu bisa pula disimpan dan dipamerkan di museum nasional yang ruang dan spasinya masih terbuka lebar.
Menghentikan lelang bukan berarti tak menimbulkan masalah baru. Sebab, sejumlah perusahaan swasta yang mendapat izin mengangkat barang bersejarah berupa perhiasan emas, perak, batu mulia, keramik, kerajinan gelas, dan kristal itu sejatinya sudah menjalankan fungsinya dengan benar-selain, tentunya, telah menggelontorkan miliaran rupiah untuk proyek kapal karam ini. Selain butuh modal gede, proyek ini berisiko tinggi.
Kemauan para pemain harta karun ini dalam menempuh jalan resmi yang telanjur ditetapkan pemerintah harus dihormati. Wajar jika mereka menerima kompensasi dan keuntungan atas miliaran dana yang telah diinvestasikan untuk operasi pengangkatan dan pengamanannya. Sesuai komitmen dengan pemerintah, para investor yang sudah menunggu hari baik ini sejak tujuh tahun silam memang berhak mendapatkan jatahnya separuh dari total nilai artefak yang terjual.
Setelah urusan komitmen dengan penambang swasta ini kelar, tahap berikutnya perlu ditempuh: merespons teguran UNESCO. Badan dunia untuk pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan ini mempertanyakan langkah pemerintah yang dinilai melanggar Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air yang ditetapkan pada 2001 itu. Mengingat beratus ribu keping barang berharga itu masih terpuruk di bawah laut, maka dalam jangka panjang, alangkah baiknya jika pemerintah meratifikasi konvensi tersebut.
Teguran badan dunia ini seharusnya membuka mata pemerintah untuk mengevaluasi cara penanganan benda-benda berharga dari dasar laut itu. Konsekuensinya berat, memang. Jika sudah diratifikasi, lupakan sudah proyek penggalian, pengangkatan, dan pelelangan harta karun tersebut di kemudian hari. Biarkanlah ratusan titik kapal karam yang terdeteksi tak usah dikorek-korek. Rezeki, toh, masih bisa datang dari usaha membuka pariwisata menyelam menyaksikan harta karun dari kapal karam. Kita bahkan bisa mengklaim sebagai negara dengan harta karun terbesar di dasar laut yang tak dipunyai negara mana pun.
Ada sejumlah langkah yang harus diprioritaskan di dalam negeri. Undang-undang dan keputusan presiden berkenaan dengan kegiatan ini harus disempurnakan. Kementerian Kelautan dan Perikanan yang selama ini bersandar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, yang mengizinkan sebagian benda bersejarah diperjualbelikan dengan sejumlah syarat, terpaksa harus direvisi. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1985 tentang Izin Survei dan Pengangkatan Barang-barang Muatan Kapal Tenggelam, berikut tiga keppres lainnya, juga harus dicabut.
Dengan cara inilah kita memperlihatkan kepada dunia bahwa kesadaran melestarikan warisan budaya jauh lebih penting ketimbang urusan duit. Karena itulah pemerintah dan badan legislatif wajib membenahi segenap peraturan yang menekankan pentingnya nilai sejarah dan budaya di atas kepentingan komersialisasi. Kita pun akhirnya tak boleh tergoda untuk mengeksploitasi harta bersejarah di dasar laut yang memang sangat menggiurkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo