Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara pembukaan Kongres II Partai Demokrat di Hotel Mason Pine, Bandung, Jumat pekan lalu, dinanti ribuan kader partai biru dengan harap-harap cemas. Setiap kalimat yang meluncur dari mulut Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu dicerna dan ditafsirkan dengan hati-hati. Semua mengharapkan ada sinyal politik dari SBY tentang siapa yang dia inginkan untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sampai lima tahun mendatang.
Namun, sampai pidato setengah jam itu berakhir, petunjuk yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung tiba. Presiden Yudhoyono sama sekali tidak menyebut figur seperti apa yang, menurut dia, paling pantas menjadi pucuk pimpinan partai biru sampai 2015.
Yang muncul justru ajakan agar berkompetisi dengan sehat. Yudhoyono menilai ”wajar jika ada ketegangan dan benturan aspirasi” dalam kongres partai ini. SBY juga berpesan agar persaingan memperebutkan kursi orang nomor satu di Demokrat ”tetap menjaga martabat partai dan nilai etika serta moralitas”.
Sikap ”netral” Yudhoyono ini mengubah peta politik di Partai Demokrat. Kubu Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, yang semula percaya didukung keluarga Cikeas, kini dipaksa mencari strategi baru. Tanpa sinyal dukungan dari keluarga Yudhoyono, Andi harus lebih berpeluh mengumpulkan pendukung.
”Padahal, kalau SBY memberikan endorsement terbuka kepada Andi Mallarangeng, itu artinya kompetisi selesai,” kata satu politikus senior Demokrat. Dia mengibaratkan Partai Demokrat adalah rumah dan pemiliknya adalah Yudhoyono. ”Siapa pun yang mau berbuat sesuatu, ya tidak bisa tanpa seizin pemilik rumah,” katanya.
Di sisi lain, posisi SBY ini ibarat angin segar buat dua kubu kandidat lain: Anas Urbaningrum dan Marzuki Alie. ”Sejak awal saya yakin SBY tidak akan mengintervensi proses pemilihan,” kata Marzuki, akhir pekan lalu. ”Itu akan menodai citranya sebagai demokrat sejati.”
Sumber Tempo menduga perubahan sikap Yudhoyono ini tak lepas dari posisi mertuanya, Sunarti Sri Hadiyah. Istri Sarwo Edhie Wibowo itu dikabarkan kurang sreg dengan Andi Mallarangeng. Meski rumor ini beredar kencang di kalangan Partai Demokrat sepanjang pekan lalu, tidak ada sumber yang bersedia memastikan akurasinya.
Yang jelas, kabar burung tentang sikap Sunarti ini membuat Andi berada dalam posisi sulit, karena pencalonan Andi tak lepas dari dorongan keluarga Cikeas. Dukungan keluarga Yudhoyono sudah jelas terbaca sejak awal kampanye Andi Mallarangeng. Para menteri Kabinet Indonesia Bersatu dari Partai Demokrat, misalnya, semua kompak berada di belakang Andi. Demikian juga dengan Edhie Baskoro Yudhoyono, putra bungsu Presiden.
Namun, karena tak mendapat restu Sunarti, dosis sokongan Yudhoyono diturunkan ke titik minimal. Bahkan endorsement tak resmi yang semula diharapkan akan muncul dari Yudhoyono dalam acara peluncuran buku Andi Mallarangeng di Hotel Sheraton Bandung, sehari sebelum pembukaan, pun batal. Meski sejumlah anggota tim sukses Andi sudah menyebarkan berita tentang kehadiran RI-1 dalam acara itu, pada detik-detik terakhir Yudhoyono memutuskan absen.
PENGARUH Ibu Sepuh, demikian Sunarti Sri Hadiyah biasa disapa, tak bisa dipandang sebelah mata. Terpilihnya Hadi Utomo dalam Kongres Partai Demokrat lima tahun lalu di Denpasar tak lepas dari campur tangannya. Ketika itu nama Hadi Utomo sama sekali tak muncul di bursa calon ketua umum partai.
Calon yang didukung Yudhoyono saat itu adalah Sukartono Hadiwarsito, Ketua Fraksi Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat. Yang menarik, meski SBY sudah menunjukkan sinyal mendukung Sukartono, calon-calon lain dipersilakan tetap maju. Walhasil, saat itu, kurang-lebih ada sebelas calon ketua umum, di antaranya Subur Budhisantoso, Ahmad Mubarok, sampai artis Sys Ns.
Dengan dukungan Cikeas di kantong, di atas kertas Sukartono adalah calon unggulan. Namun skenario politik kongres berjalan di luar rencana. Dalam tata tertib, kubu pesaing Sukartono memasukkan klausul bahwa calon ketua umum harus berijazah S-1—sesuatu yang tak bisa dipenuhi Sukartono. ”Otomatis, dia terganjal,” kata Wakil Sekjen Partai Demokrat, Syarief Hasan, Selasa pekan lalu.
Penjegalan Sukartono saat itu adalah bagian dari pembangkangan sejumlah elite Demokrat terhadap kepemimpinan Yudhoyono. Sumbernya adalah kekecewaan mereka sehubungan dengan pembagian jatah kursi kabinet yang dinilai tidak adil. Pada masa jabatan SBY yang pertama, dari 36 menteri dan pejabat setingkat menteri, yang murni dari Demokrat hanya Jero Wajik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) dan Taufiq Effendi (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara).
Perlawanan itu sebenarnya sudah tercium jauh-jauh hari. Karena itu, sejumlah elite partai mengambil beberapa langkah antisipasi, salah satunya dengan berkunjung ke rumah Ibu Sepuh di kompleks Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, awal Januari 2005. ”Mereka meminta satu nama calon ketua umum yang bisa merepresentasi keluarga Cikeas,” kata sumber Tempo. Calon dari Cikeas dinilai efektif untuk meredam konflik dan mengembalikan stabilitas partai. Dari Ibu Sepuh, lalu muncul nama Hadi Utomo, adik ipar Yudhoyono.
Sumber Tempo memastikan pertemuan dengan Ibu Sepuh itu dilakukan tanpa setahu Yudhoyono. ”SBY tidak suka karena dia menghindari nepotisme macam itu,” katanya tersenyum. Pada saat-saat genting itu, SBY berusaha netral: membebaskan kader Demokrat memilih siapa pun yang dinilai mampu.
Empat bulan menjelang kongres, nama Hadi Utomo mulai disosialisasikan ke daerah-daerah. ”Dia dipromosikan sebagai calon resmi dari keluarga Ci-keas,” kata sumber Tempo yang terlibat dalam kampanye pemenangan Hadi ketika itu. Sepekan menjelang kongres di Bali, barulah nama Hadi benar-benar muncul. Namun, karena dukungan Yudhoyono masih mengarah ke Sukartono, tak ada yang menganggap serius pencalonan Hadi.
”Saya sebenarnya tidak merasa dijagokan SBY,” kata Sukartono ketika dihubungi pekan lalu. ”Saya hanya diberi kesempatan untuk maju.” Saat meminta restu Yudhoyono, Sukartono masih ingat, dia bahkan diberi pesan untuk membawa Demokrat meraih suara terbanyak ketiga dalam Pemilihan Umum 2009.
Ketika Sukartono tersingkir akibat tata tertib kongres, barulah gerilya mendukung Hadi menguat. ”Kami berpikir, partai harus dipegang perwakilan keluarga Cikeas,” kata Sukartono. Dukungan diam-diam dari Ibu Sepuh menguatkan moral mereka. ”Figur keluarga Cikeas masih penting untuk kader partai di tingkat cabang dan daerah,” katanya. Karena itulah, meski Hadi baru bergabung setahun menjelang kongres, itu pun hanya di posisi wakil sekjen, para kader tutup mata dan tetap bulat mendukung.
Saking banyaknya calon, pemilihan ketua umum saat itu harus dilakukan dua putaran. Pada akhir putaran kedua, Hadi Utomo berhasil memperoleh 302 suara, menyisihkan dua kandidat lainnya, yakni Subur Budhisantoso (108 suara) dan Suratto Siswodihardjo (39 suara).
Usaha Tempo menemui Sunarti, melalui Mastuti, istri Hadi Utomo, tidak membuahkan hasil. Sepanjang pekan lalu, Mastuti sibuk mempersiapkan Kongres Partai Demokrat di Bandung. Adik Hadi Utomo, Agus Hermanto, membantah peran signifikan Sunarti. ”Semuanya demokratis saja, lurus saja,” kata anggota parlemen dari Fraksi Demokrat ini.
”SITUASI saat ini tentu berbeda dengan kongres pada 2005,” kata Achsanul Qosasi, politikus Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat. Lima tahun lalu, kata Achsanul, tantangan Partai Demokrat adalah mempertahankan Yudhoyono di pucuk kekuasaan Republik untuk masa jabatan kedua.
”Untuk itu, memang dibutuhkan orang tepercaya dari keluarga Cikeas untuk mengamankan SBY,” katanya. Sedangkan saat ini, menurut Achsanul, yang dibutuhkan adalah figur yang mampu mengkonsolidasi dan membesarkan Partai Demokrat.
Karena itulah, Achsanul menilai dukungan ibunda Yudhoyono tidak terlampau relevan lagi dalam konstelasi politik partai saat ini. ”Namun, sebagai bagian dari keluarga besar Demokrat, tentu masukan Ibu Sepuh tetap harus dihormati,” katanya. Dia memastikan kader-kader Demokrat akan memilih calon berdasarkan rekam jejak mereka, dan bukan sekadar berdasarkan siapa yang mendapat restu.
Wahyu Dhyatmika, Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo