DUA orang pedagang rotan ditangkap. Empat pemegang APE (Angka Pengenal Ekspor) rotan dicabut. Apa pasal? Ini memang buntut peristiwa panjang yang diawali dengan ditemukannya sekapal penuh muatan rotan bulat (asalan) yang akan diselundupkan ke luar negeri. Anda tentu telah mafhum. Pemerintah telah menutup keran ekspor rotan bulat dan menetapkan Tata Niaga Rotan. Ekspor rotan yang sudah dipoles (bahan setengah jadi) pun akan disetop mulai akhir 1988 nanti. Bisa diduga, kebijaksanaan ini terutama untuk "menangkap" nilai tambah di dalam negeri. Selama ini memang banyak negara yang memanfaatkan kekayaan rotan Indonesia yang merupakan 80% pasokan dunia. Taiwan, misalnya, sudah mulai berteriak-teriak karena sumber bahan baku utamanya lenyap. Sebuah pabrik mebel rotan di sana, untuk satu model sederhana saja, mengekspor 140 kontainer setiap tahun untuk satu department store di Amerika Serikat saja. Bayangkan ! Satu model, satu alamat, satu tahun harus dikirimi 140 kontainer. Bisnis yang adem, tentu saja. Tak heran bila harga bahan baku rotan kini melambung. Rata-rata di Indonesia rotan setengah jadi berharga US$ 625 per ton, tapi Taiwan berani beli dengan harga US$ 925. Tetapi, buat apa mengekspor rotan setengah jadi bila untuk itu dikenai pajak sebesar 40% ? Malah buntung jadinya. Para pengusaha mebel rotan terpaksa berkeliaran di Malaysia, Brunei, dan Papua Nugini untuk mencari sumber bahan baku rotan. Sadar harga, Malaysia kini menawarkan harga di atas US$ 1.000. Hela rotan memang sedang terjadi. Kisah seperti yang terjadi di industri kayu lapis mungkin akan segera terulang. Ketika pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu bulat, langsung bertumbangan ratusan industri kayu lapis di Taiwan, Jepang, dan Korea. Dan mendadak sontak Indonesia menjadi pemasok nomor satu dalam pasar kayu lapis dunia. Sebuah pabrik mebel rotan terbesar di Taiwan kini bahkan sudah banting setir. Sambil terus memproduksi mebel rotan pabrik ini sudah pula membangun pabrik baru untuk memproduksi mebel dari bahan brass. "Kami belum bisa tahu persis apa yang akan kami lakukan pada 1989 nanti," F.J. Chen, Presiden Direktur South-Asia. "Mungkin sekali kami harus menutup pabrik mebel rotan itu kalau memang sourcing bahan bakunya terputus." Padahal, selama ini perusahaannya telah berhasil memasok untuk empat department stores besar di Amerika Serikat. Dan itu adalah nasib negara-negara yang bergantung pada sumber daya dari negara lain. Lalu, siapa yang akan memasok pasar Amerika Serikat itu? Tentu kita berharap bahwa kitalah yang akan bisa memasoknya. Tetapi, soalnya bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Hup la, lalu kita dapat? Itu memang tak akan terjadi begitu saja. Ada soal mutu. Ada soal desain. Ada soal pemasaran. Ada soal teknologi. Ada soal volume yang harus dirampungkan dalam waktu tertentu. Masing-masing merupakan soal-soal besar yang masih harus diselesaikan secara serius. Dan, malangnya, soal-soal seperti itu biasanya hanya dapat dipecahkan oleh suatu organisasi bisnis yang cukup besar dan mempunyai pengalaman. Mendadak sontak BKPM pun kebanjiran pemohon izin untuk mendirikan pabrik mebel rotan. Tiap bulan izin-izin baru diturunkan. Me-too companies bermunculan. Di sentra-sentra produksi bahan baku rotan pun sudah mulai terjadi hela rotan di antara perusahaan-perusahaan yang hendak memastikan agar pabriknya nanti akan kecukupan bahan baku. Sudah dapat dipastikan, keadaan seperti itu hanya akan mengakibatkan pengaturan baru agar pengadaan bahan baku rotan dapat terselenggara secara adil. Over-regulation pada akhirnya memang tak dapat dielakkan bila satu jenis komoditi diperebutkan oleh banyak pihak. Yang paling harus dihindari adalah bahwa para perajin tradisional yang selama ini telah berkutat dalam produksi mebel rotan akan tersisih karena pengusaha-pengusaha besar yang memonopoli sumber-sumber bahan baku. Kita memang seperti baru terbangun dari tidur. Menyadari bahwa selama ini nyaris hanya kesia-siaan saja yang telah terjadi. Membiarkan nilai tambah terbang entah ke mana. Dan membiarkan jutaan tenaga kerja kita kehilangan kesempatan kerja. Barangkali itulah justru kesialan yang menyertai nasib negara-negara permai yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia ini. Mungkin kita juga masih beruntung bahwa sekalipun terlambat kita masih bisa bangun bukannya terus terlena. Skenario kayu lapis mungkin tidak dapat dianalogikan dalam skenario rotan. Kayu lapis bukanlah produk akhir, dan karenanya tidak banyak melibat soal desain. Sedangkan mebel rotan merupakan produk akhir yang dibeli konsumen terutama karena desainnya yang menarik. Dan kalau kita mau mengakui bahwa kita memang belum peka mengetahui apa persisnya selera konsumen di sana mungkin -- ya, mungkin -- lebih baik kita beli desain saja. Untuk jadi pakar, 'kan kita harus jadi tukang dulu? Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini