MALAM itu banyak orang yang melompong di trotoar Jalan Thamrin, Jakarta, usai pertunjukan film Arini. Tengok sana, tengok sini, akhirnya polisi lalu lintas kasih keterangan: mobil mereka diderek karena diparkir di trotoar. Keasyikan sehabis nonton akting pemenang Piala Citra, Widyawati, di bioskop baru yang nyaman, Twenty One, rupanya oleh sebagian penonton harus ditebus dengan ongkos derek cukup mahal. Hitung-hitung, untuk nonton di bioskop Sudwikatmono, malam itu puluhan orang harus membayar Rp 40 ribu. Bioskop termahal. Ya, tanpa ongkos derek pun tiketnya sudah Rp 7.500,00. "Pantas, dong, investasinya 'kan mahal?" kata Sudwikatmono. Investasi Twenty One, yang terdiri dari empat layar, Studio I, II, III, dan IV, yang masing-masing berkapasitas 250 penonton, katanya sekitar Rp 4 milyar. Kalau Twenty One bisa mempertahankan penontonnya seperti sekarang, mengisi 80% tempat duduk, modal Presiden Direktur PT Indocement itu tentu akan kembali lebih cepat. Sebab, dengan tingkat pengisian tempat duduk 30% saja, menurut pemiliknya, modal sudah akan kembali dalam waktu paling lama empat tahun. Perhitungan yang cukup berani, di tengah kursi-kursi bioskop lain yang kosong melompong, dan tarif sewa kaset video yang cuma seribu perak. "Saya yakin, masih banyak orang yang merasa lebih nikmat nonton di bioskop," kata Sudwikatmono. Pengusaha yang baru dilantik sebagai anggota MPR itu tampaknya memang pandai memberi kenyamanan kepada khalayak -- seperti yang diberikan kepada pengunjung supermarket-nya yang keren, Golden Truly. Bioskop-bioskop Twenty One itu memang lebih tepat disebut studio. Sebab, di samping menawarkan empat film yang berlainan dalam setiap jam pertunjukannya, semuanya pllihan dan belum dipertunjukkan di bioskop lain. Juga tempat duduk yang leluasa buat penonton yang terbatas jumlahnya. Dan proyektor serta sound system yang sempurna. Selebihnya, harga karcis dan lokasinya memang membuat Twenty One menjadi bioskop orang bergengsi. Sudwikatmono boleh mengaku dirinya amatiran di bidang perbioskopan. Tapi, nyatanya, ia punya PT Suptan Film, yang sudah memproduksi entah berapa banyak film. Juga dikenal sebagai importir film-film Mandarin. Twenty One juga bukan bioskopnya yang pertama. Ia menguasai Golden Theatre di Kebayoran Baru, Kartika Chandra di Jalan Gatot Subroto, Glodok Theatre di Jakarta Kota. Pantas, pandangannya mengenai bisnis gambar hidup begitu meyakinkan. Tak perlu kecut bersaing dengan kaset video, katanya, asal mampu mengubah penampilan bioskop dengan berbagai cara untuk memberi kenyamanan pada penonton. Semua bioskop yang dikelola Sudwikatmono memang mahal segala-galanya: ya fasilitas, ya karcisnya. Twenty One adalah cara baru Sudwikatmono mengajak orang kembali ke bioskop. Idenya membuat bioskop-bioskop kecil di satu gedung itu tentu berasal dari luar negeri. Ternyata, dapat diterapkan di sini. Bioskop Kartika Chandra, misalnya, sudah lama sepi ditinggalkan penonton. Setelah Sudwikatmono "membelahnya" menjadi tiga, setiap layar untuk 300 penonton, tingkat pengisian kursinya sejak diresmikan, akhir tahun lalu, sampai sekarang rata-rata 70%. Jangan buru-buru meniru Sudwikatmono. Sebab, masih harus dibuktikan, benarkah penonton lebih suka duduk di biskop mini, atau hanya karena apa yang dijual oleh Sudwikatmono itu suasana baru -- lama-lama orang bosan juga. Untuk sementara, memang, terbukti bahwa bioskop tua seperti Megaria I di Cikini, dengan kapasitas 1.200 kursi, hanya mampu menyedot 200 - 400 penonton untuk empat kali pertunjukan. Megaria II, kabarnya, lebih payah. Yang jelas, Sudwikatmono pada dasarnya menganut hukum dagang yang berlaku: untuk sukses perlu Inovasi. Siapa yang duluan mulai saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini