BERBAGAI pihak akan melakukan tutup buku tahun 1985 mungkin dengan perasaan yang bercampur baur. Ini tidak mengherankan karena perkembangan ekonomi selama tahun 1985 ini juga penuh dengan pertanda yang bertentangan. Ada yang tidak mengerti mengapa tidak ada yang bisa memecahkan teka-teki besar tahun 1985: mengapa keadaan ekonomi pada tingkat makro dan mikro begitu berbeda? Rasanya, bisa dibenarkan adanya anggapan bahwa perekonomian Indonesia tahun 1985 ini belum lebih baik, tetapi juga tidak jauh lebih buruk daripada tahun 1984. Sebenarnya, pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) tahun 1984 - dinyatakan atas dasar harga konstan 1983 - berada jauh di atas 5%. Rasanya, pertumbuhan PDB selama tahun 1985 tidak lebih rendah dari 4%. Ini bukan prestasi gemilang tapi juga bukan resesi yang dalam seperti tahun 1982. Teka-teki pertama: ke mana larinya hasil pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini? Daya beli masyarakat dirasakan melemah dan kelesuan usaha dianggap meluas. Sampai batas tertentu, hal ini tidak mengherankan bila diamati perkembangan jumlah uang beredar, yaitu peredaran "darah"-nya ekonomi, selama empat tahun terakhir ini. Sebelumnya, secara riil uang beredar biasanya meningkat 15% sampai 30% per tahun. Tahun 1982 sama sekali tidak ada kenaikan tahun 1983 malah terjadi kontraksi 5% karena secara nominal uang beredar bertambah 6% tetapi inflasi mencapai 11%. Secara riil, uang beredar bertambah 4% tahun 1984 dan sekitar 6% tahun 1985 ini. Kebijaksanaan "uang ketat" ini memang secara sadar telah diambil oleh pemerintah. Ini adalah demi perbaikan posisi neraca pembayaran. Ongkosnya memang ada, dan diketahui pemerintah, yaitu peningkatan PHK di sektor industri. "Dilema besar" ini mungkin tidak bisa ditangani secara lain pada tingkat kebijaksanaan secara makro. Secara mikro sebenarnya ada alternatif penanganannya, yaitu melalui kebijaksanaan yang bersifat selektif: industri tertentu didukung penuh supaya bertahan sedang industri tertentu lainnya dimatikan karena ongkos ekonomi tidak lagi bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kebijaksanaan selektif ini sulit dilaksanakan secara konsekuen karena biasanya terhambat oleh berbagai vested interests. Apa pun yang mau dikatakan, secara makro posisi neraca pembayaran jauh membaik selama empat tahun ini. Defisit neraca transaksi berjalan (current account) yang melonjak menjadi sekitar 7 milyar dolar AS tahun anggaran 1982/1983 telah menurun menjadi kurang dari 2 milyar dolar AS dalam tahun anggaran 1984/1985. Ini satu prestasi besar bila diukur dari perkiraan dalam Repelita IV: defisit neraca transaksi berjalan diperhitungkan berkisar antara 4,5 dan 5 milyar dolar AS per tahun selama lima tahun. Sementara itu, posisi cadangan devisa juga sudah jauh membaik dibandingkan pada saat devaluasi Maret 1983. Dengan perkembangan ini, seharusnya bisa diharapkan kebijaksanaan pemerintah yang lebih longgar. Ternyata, ini mulai terjadi selama semester I tahun 1985. Tetapi memasuki semester berikutnya sikap konservatisme pemerintah menonjol kembali. Perkembangan ekspor selama semester I ternyata kurang menggembirakan. Nilai ekspor menurun 13%, terutama karena ekspor migas merosot 18% sedangkan ekspor nonmigas cuma meningkat 2%. Tampaknya, ketidakpastian prospek ekspor sampai tahun 1986 - terutama ekspor minyak - memperkuat sikap konservatisme pemerintah. Sudah diisyaratkan bahwa APBN 1986/1987 akan semakin diketatkan. Kebijaksanaan serupa ini banyak pendukungnya. Pengecamnya bukan tidak ada pemerintah dianggap terlampau berhati-hati. Hidup konservatisme! Namun, apa pun yang hendak dikatakan, soalnya mungkin tidak sekadar terletak pada APBN. Teka-teki kedua: di satu pihak pemerintah kesempitan dana, tetapi di pihak lain sektor perbankan kebanjiran tabungan. Apakah suku bunga pinjaman yang tinggi itu - dan secara riil memang tinggi karena inflasi tahun ini begitu rendah - merupakan hambatan utama peningkatan investasi? Ternyata, tidak. Ada anggapan bahwa kesempatan investasi itu sendiri sangat terbatas. Di banyak bidang malah dihadapi kelebihan kapasitas. Pengusaha tidak segera berani memanfaatkan kesempatan yang ada karena takut "dicopet" orang lain pada saat sudah akan dilaksanakan. Risiko dianggap terlampau besar dibandingkan dengan harga modal yang dipertaruhkan - antara lain karena, seperti dirumuskan Pande Silalahi dari CSIS, kebijaksanaan pemerintah terhadap sektor swasta dianggap tidak netral. Pendeknya, berbagai alasan diajukan untuk membenarkan sikap konservatisme pengusaha. Apa yang namanya "entrepreneurship" itu tampaknya sulit ditemukan sekarang, padahal telah dibuka berbagai sekolah MBA. Hidup konservatisme! Bila prinsip ekonomi dibolehkan beroperasi, suku bunga mesti turun sebagai reaksi terhadap banjir dana di sektor perbankan. Ini memang sudah terjadi. Bila suku bunga turun, ada kemungkinan pinjaman akan naik dan tabungan ikan turun sehingga tercapai titik ekuilibriumnya. Ternyata, tabungan tetap meningkat. Ini teka-teki ketiga. Selama tahun 1985 ini diperkirakan tabungan telah meningkat dengan Rp 3 trilyun, suatu peningkatan yang sangat mencolok. Mungkin ini jawaban atas teka-teki pertama, yaitu ke mana larinya hasil pertumbuhan ekonomi itu. Setiap tabungan pada dasarnya merupakan "kebocoran" bagi suatu ekonomi. Bagi orang per orang tabungan yang besar itu baik, tetapi secara nasional belum tentu demikian. Daya beli yang melemah, sampai batas tertentu, mungkin bersifat artificial, yaitu karena rumah tangga meningkatkan tabungannya dan bukan konsumsinya. Ada yang menganggap ini sebagai akibat kampanye "hidup sederhana" yang terlalu efektif. Apa pun alasannya, manifestasinya adalah konservatisme (pengeluaran). Kekhawatiran tentang kehancuran pasar minyak internasional rupanya tidak hanya menghantui pemerintah tetapi sudah menjangkiti sektor rumah tangga. Entah apakah ini baik atau buruk untuk perkembangan ekonomi Indonesia, yang jelas konservatisme sudah merajalela. Lengkaplah sudah jangkauan pengaruhnya ke semua sektor. Hidup konservatisme! Sikap hati-hati ini terpuji bila dibandingkan dengan pengalaman negara-negara Amerika Latin. Tetapi hasil efektifnya dalam jangka menengah bergantung pada usaha mempertajam prioritas pembangunan yang mendampinginya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini