BERDIRI di tengah kampung, di luar batas barat Solo, bangunan seluas 1.600 m2 pada tanah 6.000 m2 memang gampang jadi pusat perhatian. Bangunan berlantai dua dan berbentuk L dengan warna kuning pucat, terbagi-bagi dalam sejumlah ruang, mengesankan sebuah asrama mahasiswa. Ini memang sebuah kompleks pendidikan, bernama Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran. Dari sinilah - disebut-sebut dalam Muktamar Muhammadiyah ke-41 yang berakhir dua pekan lalu di Solo - diharapkan muncul pemimpin dan pemikir Muhammadiyah. Sudah agak lama Muhammadiyah menyadari, kepemimpinan di masa mendatang mestinya ditangani secara profesional. Lalu, di awal 1980-an, datang ide dari Muhammad Djazman, 50, untuk membuka satu lembaga pendidikan yang merupakan kombinasi pendidikan akademis dan pondok pesantren. Ide Ketua Departemen Kader PP Muhammadiyah ini langsung disetujui PP (Pimpinan Pusat) ormas ini, yang lalu menyerahkan rencana dan pelaksanaannya kepada Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Kebetulan, rektor UMS adalah Djazman sendiri. Disebut pondok, tapi di lingkungan ini mustahil terlihat pemuda bersarung dengan peci di kepala mondar-mandir membawa kitab. Di sini pun tak ada kiai sebagai tokoh sentral. Suasana Pondok Shabran lebih mengesankan sebuah sekolah biasa: para santri bercelana panjang tanpa tutup kepala. Sistem pengajarannya pun klasikal, meski semua santri (kini 135 orang, lelaki semua) diasramakan, dan praktis selama 24 jam suasananya adalah suasana belajar, terkecuali waktu tidur, tentunya. Dari 22 pengajar, empat tinggal di pondok. Berdiri pada 1982, Pondok Shabran sebenarnya masih merupakan proyek percobaan PP Muhammadiyah. Dari segi kelembagaan, Pondok berada di bawah UMS, setingkat dengan fakultas. Otomatis, Fattah Santoso, ketua Pondok, setingkat dekan. Kurikulum akademisnya pun sama dengan kurikulum Fakultas Ilmu Agama Islam UMS. Misalnya, kuliah Sejarah Agama-agama, Filsafat Islam, Metode Penelitian, Antropologi. Sementara itu, kurikulum pondoknya memang tak jauh berbeda dengan yang diberikan di pesantren tradisional. Antara lain, Ilmu Dakwah, Membaca Kitab, Nahwu (tata bahasa Arab). Adapun kitab-kitab yang mesti dipelajari misalnya kitab hukum penafsiran hadis Subulus Salam, Fiqussunnah. Lalu kitab tafsir Quran Tafsir Al Maroghi. Kegiatan kuliah dimulai pagi hingga menjelang salat lohor. Dilanjutkan lagi setelah saat sembahyang asar hingga menjelang magrib. Masih ada kuliah malam, tapi hanya dua hari seminggu. Tidak berarti pada jam kosong kuliah santri boleh semau gue. Salat berjamaah bisa dianggap satu latihan: baik khatib maupun imamnya para santri itu sendiri, bergiliran. Lalu ada kewajiban membina masyarakat dalam lingkungan Pondok. Tak hanya dengan cara membuka dan membina pengajian. "Dalam mendekati masyarakat cara kami luwes," kata Djamaluddin, 23, santri asal Magelang, Jawa Tengah. "Kami membuka bimbingan matematika, menyelenggarakan latihan olah raga, dan banyak lagi." Selain itu, beberapa santri punya wilayah khusus. Ada yang membina para pelacur, ada yang membuka pengajian di rumah jompo, dan di yayasan tunanetra. Sistem pengajaran seperti itulah yang membuat Muhammad Djazman, pembina Pondok, dan Djindar Tamimy, 52, ketua proyek, optimistis. "Ternyata, lebih banyak santri yang lulus dalam ujian ilmiah dibandingkan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam UMS," tutur Djindar, yang dalam Muktamar pekan lalu masih terpilih menjadi salah seorang Wakil Ketua PP Muhammadiyah, kepada Yuyuk Sugarman dari TEMPO. Oh, ya, karena kurikulum ganda itulah para santri punya kemungkinan menyandang gelar akademis. Sudah 33 santri kini menunggu ujian negara sarjana muda. Dan karena itu pula bisa dimengerti bila tak semua santri berniat jadi pimpinan Muhammadiyah. "Saya ingin jadi diplomat, meski tetap akan memperjuangkan Muhammadiyah dan Islam," kata Lendro Yupi, 21, santri kiriman dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung. Ini, sekali lagi, memang pondok dari dan untuk Muhammadiyah. Lembaga pendidikan ini hanya menerima santri yang dikirimkan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. Bahkan seleksi santri tidak dilakukan pihak Pondok dan UMS, tapi Pimpinan Wilayah. "Kami cuma mengirimkan soal tesnya saja," kata Sukari, 39, sarjana Syariah Universitas Kairo yang menjadi wakil direktur Pondok. Tes itu berupa kemampuan Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Pengetahuan Umum, dan Kepribadian. Bisa dipahami bila setelah para santri berkumpul di Pondok, ternyata latar belakang dan kemampuan mereka bermacam-macam. Ada yang lulusan madrasah aliyah, SMA, SGO, atau PGA. Perbedaan ini diatasi dengan tutoring. "Para tutor bukan hanya dari pembina, tapi juga dari para santri yang cepat belajarnya kepada santri yang lemah," tutur Fattah Santoso, 39, sarjana IKIP Malang yang pernah belajar di Pondok Gontor 9 tahun. Untuk sementara pendidikan di Pondok yang mengambil nama pemberi tanah wakaf ini berjalan sekitar tiga tahun. Setelah itu, rencananya, santri dikembalikan ke wilayah, dan terserah kepada Pimpinan Wilayah untuk menugasi mereka. Tugas ini wajib dikerjakan santri selama 2-3 tahun. Soalnya biaya makan, asrama, buku, uang saku, dan uang ujian Pimpinan Wilayahlah yang menanggung - ini memang semacam ikatan dinas. Satu bukti bahwa Pondok untuk sementara hanya diarahkan untuk kepentingan Muhammadiyah, yakni tahun ini Jurusan Tarbiyah (pendidikan) dihapus, diganti dengan Syariah (hukum). "Majelis Tarjih memerlukan lebih banyak ahli hukum, untuk memilih aternatif hukum terkuat, misalnya," tutur Sukari. Lulusan Tarbiyah dianggap sudah cukup. Adapun Jurusan Ushuluddin (filsafat) tetap dibutuhkan untuk melatih para pemikir. Bambang Bujono Laporan A. Luqman (Jakarta) & Kastoyo Ramelan (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini