Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUBUNGAN sipil-militer menjadi salah satu topik penting dalam studi mengenai militer dan politik, terutama di Indonesia. Masa Orde Baru menjadi milestone penting dalam melihat kondisi hubungan tersebut. Selain karena militer menjadi penopang otoritarianisme rezim, dampak hubungan sipil-militer yang tidak ideal saat itu mengakibatkan militer (ABRI) bertransformasi dari alat negara menjadi alat kekuasaan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelenggaraan hubungan sipil-militer yang ideal belakangan ini kian relevan untuk dibicarakan. Urgensinya bukan hanya untuk keperluan reformasi TNI, tapi juga secara garis besar akan bermanfaat bagi penguatan iklim demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Topik ini pun menjadi penting karena belakangan muncul rencana perluasan penempatan anggota militer pada jabatan sipil melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (RPP Manajemen ASN). Kemudian, beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh potongan video kekerasan di Papua yang melibatkan anggota militer.
Urgensi untuk menyoroti kembali hubungan sipil-militer ini berangkat dari pandangan Michael C. Desch (2002). Ia menjelaskan bahwa kebanyakan orang berpikir hubungan sipil-militer terbatas dalam aspek peristiwa kudeta semata. Maksudnya, jika terdapat kudeta kekuasaan oleh militer, hubungan sipil-militer buruk. Sebaliknya, jika tidak ada kudeta, hubungan sipil-militer baik.
Namun, menurut Desch, sebuah negara justru dapat memiliki hubungan sipil-militer yang buruk tanpa adanya ancaman kudeta. Begitu pun menurut Samuel Huntington (1985). Dalam konteks hubungan sipil-militer, persoalan di negara-negara modern bukanlah pemberontakan bersenjata, melainkan hubungan tentara dengan politikus.
Upaya Memahami Hubungan Sipil-Militer
Terdapat banyak literatur untuk memahami hubungan sipil-militer, baik realitas sosial-politik di Indonesia maupun secara konseptual. Salah satunya studi Yuddy Chrisnandi (2004) yang menjelaskan kondisi hubungan sipil-militer pada masa-masa awal reformasi.
Dalam disertasinya, Yuddy menjelaskan, hubungan sipil-militer di awal reformasi belum menunjukkan bahwa kondisi militer berada di bawah kendali otoritas sipil sepenuhnya. Kondisi ini dapat dipahami, mengingat pada masa awal transisi demokrasi terdapat pergumulan pemikiran mengenai dwifungsi ABRI. Apakah perlu diluruskan implementasinya, dihapuskan secara bertahap, atau dihapuskan sepenuhnya.
Secara konseptual, Huntington (1985) menjelaskan dengan baik tipologi hubungan sipil-militer. Ia menyebutkan terdapat dua bentuk hubungan sipil-militer: kontrol sipil obyektif (objective civilian control) dan kontrol sipil subyektif (subjective civilian control). Kedua bentuk kontrol sipil ini bertolak belakang dan memiliki dampak yang berbeda.
Sementara kontrol obyektif berupaya memperkuat profesionalitas militer, kontrol subyektif justru melakukan penguasaan atas militer dengan tujuan tertentu. Pengendalian subyektif diidentikkan dengan kepentingan khusus dari satu atau lebih kelompok sipil dan melibatkan hubungan kekuasaan di antara kelompok-kelompok sipil.
Dampak lain atas implementasi tipologi ini adalah militerisasi sipil atau menyipilkan militer karena menempatkan sesuatu di luar peran dan fungsinya. Dalam berbagai manifestasi historisnya, kondisi ini dapat dilihat pada masa Orde Baru.
Sementara itu, Desch (2002), sebagaimana pemikirannya di awal, merinci faktor-faktor yang membentuk atau mempengaruhi hubungan sipil-militer. Menurut dia, terdapat lima faktor yang mempengaruhi hubungan tersebut, yakni ancaman, kepemimpinan, organisasi militer, struktur negara, dan masyarakat.
Melalui kacamata hubungan sipil-militer ini, kemudian muncul beberapa pertanyaan: apakah penempatan militer pada jabatan sipil dan kekerasan yang melibatkan anggota militer ini menjadi potret kontrol obyektif? Apakah permasalahan tersebut telah mencerminkan hubungan sipil-militer yang baik? Kedua pertanyaan ini tentu memiliki jawaban yang tidak menggembirakan. Konsekuensinya, upaya reformasi militer perlu terus dilakukan.
Normalisasi Pelanggaran
Dalam diskursus publik mengenai perluasan posisi militer pada jabatan sipil ataupun soal aksi kekerasan anggota militer, muncul fenomena normalisasi dan pembelaan. Bentuk normalisasi itu, pertama, arus pemikiran yang menganggap positif wacana penempatan militer pada jabatan sipil karena dianggap dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik.
Pada saat yang sama, argumen tersebut muncul tanpa mengacu pada Undang-Undang TNI ataupun reformasi militer. Bahkan pemikiran demikian diterjemahkan ke dalam pertanyaan sederhana, seperti “apa salahnya?” dan “di mana pelanggarannya?”. Minimnya pemahaman publik mengenai reformasi militer pada akhirnya berdampak terhadap rendahnya kesadaran publik untuk mengawasi upaya reformasi TNI.
Selanjutnya, dalam peristiwa kekerasan di Papua, kritik publik atas pelanggaran hak asasi manusia itu justru menimbulkan kontroversi lain. Salah satu kritik keras terhadap militer, seperti yang dilontarkan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), justru mendapat tanggapan negatif berupa cibiran, kecaman, hingga tudingan bahwa para mahasiswa memihak kepada kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Padahal isi pernyataan sikap tersebut hanyalah penolakan atas praktik kekerasan yang dilakukan aparat negara. Kekerasan itu jelas melanggar hak asasi manusia yang sejatinya dijamin konstitusi dan konvensi internasional. BEM UI hanya memberikan ulasan bahwa kasus kekerasan itu bukan pertama kali terjadi, termasuk yang diduga melibatkan aparat negara, sehingga harus diusut tuntas.
Tanggapan negatif atas kritik para mahasiswa itu jelas fenomena yang menyedihkan. Hal ini memperlihatkan bahwa ada sebagian masyarakat yang justru berpihak pada dan membela tindakan kekerasan. Mereka yang mencibir kritik para mahasiswa itu membandingkannya dengan peristiwa kekerasan sebelumnya yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Hal tersebut jelas sebuah kekeliruan cara berpikir. Perbandingan atas tindakan kekerasan seperti apa pun tidak menghilangkan prinsip bahwa kekerasan tersebut melanggar jaminan atas HAM, siapa pun aktor dan korbannya. Norma universal ini seharusnya menjadi pedoman sehingga, ketimbang mencari pembelaan, publik seharusnya membahas upaya pelindungan korban, pencegahan, dan upaya-upaya pendekatan human security ke depan.
Respons berupa tantangan melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di Papua kepada mahasiswa juga mencerminkan kedangkalan pikiran dan hanya mengedepankan sisi emosional—jika tidak ingin disebut kekanak-kanakan—dalam memandang suatu masalah.
Jika tujuan tantangan itu adalah agar para mahasiswa dapat mengatasi permasalahan atau meredam konflik di Papua, tujuannya jelas salah sasaran. Pemikiran-pemikiran minim substansi ini mencerminkan bagaimana sebagian masyarakat tidak memahami perbedaan peran dan fungsi, tujuan kritik, serta sesuatu yang disebut evaluasi.
Dari berbagai fenomena tersebut, akhirnya kita dapat melihat bahwa tipologi hubungan sipil-militer di Indonesia belum sepenuhnya berada pada kontrol sipil obyektif. Praktik militerisasi sipil atau menyipilkan militer masih punya peluang besar untuk terealisasi melalui RPP Manajemen ASN.
Risikonya, bagi para personel militer yang kemudian menduduki jabatan sipil, profesionalitas dan kapasitas pemahaman tempur mereka akan bergeser ke hal-hal birokrasi sipil. Hal itu belum tentu cocok dan sesuai dengan kemampuan mereka.
Sementara itu, bagi lembaga sipil, sejumlah risiko pun akan muncul. Pertama, akibat faktor kepemimpinan yang bercorak militeristis, kebijakan sipil yang diambil akan minim mekanisme evaluasi. Lalu, akibat pengaruh lembaga militer, kebijakan publik yang diambil pun berisiko bertentangan dengan upaya reformasi TNI.
Dampaknya, berbagai kebijakan yang tak mendukung upaya reformasi militer pun akan diinstitusionalkan, meski dibanjiri kritik publik. Pada akhirnya, publik pun akan menerima, bahkan mendukung aneka kebijakan atau praktik yang bertentangan dengan upaya reformasi TNI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.