Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia perbankan Indonesia rupanya tidak mau belajar dari krisis finansial 1997. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan kredit seret alias non-performing loan (NPL) yang tinggi selama tahun lalu. Pada Maret 2005, angka kredit seret masih 5,6 persen, tapi enam b-ulan berikutnya sudah 8,5 persen. Perbankan Indonesia kembali menghadapi momok yang sama seperti sembilan tahun s-ilam.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini dinyatakan Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Fadjrijah ketika bertemu dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pekan lalu. Fadjrijah mengungkapkan data kredit seret dua bank besar di Indonesia, Bank Mandiri dan BNI. Kedua bank ini masing-masing memiliki kredit bermasalah 24,6 persen dan 14,4 persen, jauh di atas patokan BI sebesar 5 persen.
Kekhawatiran ini pantas muncul karena kredit seret kedua- bank itu mencakup 63 persen dari total kredit bermasalah di Indonesia, yang pada September lalu mencapai Rp 53,5 triliun. Selain itu, kedua bank ini juga mengua-sai 27 persen pangsa pasar perbankan Indonesia. Apa yang terjadi pada kedua bank pasti akan mempengaruhi perbankan nasional.
Memang, tingginya kredit seret kedua bank ini juga dipengaruhi perhitungan kualitas aktiva produktif perbankan yang makin ketat. Tapi, tak bisa dimungkiri juga bahwa pengelolaan kredit kedua bank, terutama pinjaman korporasi, tidak bagus. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat ada banyak kredit bermasalah di sana, misalnya kredit macet Kiani di Bank Mandiri senilai Rp 1,8 triliun.
Itu sebabnya, Bank Indonesia memasukkan kedua bank pemerintah ini ke pengawasan intensif—kredit seretnya tinggi, tapi rasio modalnya masih bagus. Meskipun angka kredit seretnya lebih kecil dibandingkan angka pada 1997-1999, persoalan ini tidak bisa dibiarkan. Bank Indonesia memang harus bertindak lebih dini, sebelum masalah ini membesar dan makin sulit diselesaikan.
Kita harus becermin pada pengalaman masa lalu. Penye-le-sai-an krisis perbankan tidak mudah dan tidak murah. Ka-la itu, diperlukan dana lebih dari Rp 600 triliun untuk menyelamatkan perbankan nasional, dan yang bisa kembali ha-nya 28 persen. Rakyat pun masih harus menanggung beban pembayaran bunga sekitar Rp 40 triliun per tahun da-lam anggaran belanja negara—entah sampai kapan.
Karena itu, perlu dicari solusi yang tepat dan aman. Hal ini bisa dimulai dari Bank Indonesia. Sebagai pengawas per-bankan, Bank Indonesia harus mencari akar permasalahan yang dihadapi perbankan Indonesia: sistem yang keliru atau pengelola dan manajemen bank yang salah. Ada baik-nya Bank Indonesia kembali mengkaji efektivitas peng-awasan yang dilakukannya.
Penyelesaian masalah ini juga harus mempertimbangkan kepercayaan nasabah kepada perbankan. Pada masa lalu, pe-nyelesaian yang terburu-buru justru menjadikan- per-bank-an seperti rumah kartu. Target memang harus- jelas: kinerja perbankan kembali membaik serta menjadi tempat menyimpan uang yang aman, dan juga mampu menjadi penggerak perekonomian.
Selain itu, bank mesti steril dari intervensi pemerintah—yang ternyata malah menimbulkan praktek korupsi yang kronis. Kepemilikan pemerintah di perbankan mesti dikaji ulang. Pengelolaan oleh swasta memang tidak menjamin kinerja bank akan lebih baik, tapi setidaknya akan menghindarkan negara dan rakyat dari kewajiban menyuntik per-bankan lagi dengan dana ratusan triliun rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo