ADALAH seorang sekretaris. Pia namanya. Saya belum mengenalnya ketika pada suatu pagi saya menelepon kantornya. Ada informasi yang mendadak saya perlukan dan harus saya peroleh dari bosnya. Dengan terlebih dulu minta maaf padanya, saya katakan bahwa waktu saya sangat terbatas. Saya minta tolong agar dia bisa mengatur waktu bagi saya untuk menemui bosnya hari itu juga, atau keesokan harinya. Mungkin sudah dapat Anda tebak nasib saya. Kemungkinannya hanya ada dua: berhasil, atau tidak. Kali itu saya berhasil. Dan bukan hanya sekadar berhasil. Pia ternyata telah berusaha keras menghubungi bosnya yang sedang rapat di luar kantor, dan meyakinkan bosnya bahwa keterangan yang saya perlukan itu akan berarti besar bagi perusahaannya. Bukan red carpet treatment, memang. Tetapi, nyatanya, makin jarang saja saya menemukan sekretaris seperti itu. Yang paling sering terjadi adalah saya akan "dilempar" ke bagian humas. Dan lagak bagian humas ini bisa macam-macam. Kebanyakan dari mereka malah berusaha menghalangi wartawan mewawancarai pimpinan. Mungkin karena mereka sungguh-sungguh ingin melindungi pimpinan yang sedang sibuk. Tetapi bukan tak mungkin, mereka sendirilah yang ingin namanya tercetak di media cetak. Saya bahkan pernah kena semprot seorang pimpinan humas sebuah industri besar di Bandung. Dari Jakarta saya sudah memperoleh petunjuk untuk menemui seorang direkturnya. Dan itulah yang saya lakukan setelah mendaftar dan menyerahkan kartu penduduk kepada penjaga pintu. Setelah tiga jam berwawancara, saya diminta pergi ke bagian humas untuk meminjam beberapa gambar. Di sana malah saya kena gertak, "Kok ada wartawan nyelonong ke direksi tanpa setahu saya?" Saya langsung pergi. Untung, tidak saya katakan ia sebaiknya juga merangkap sebagai portir saja. Di Solo, pada sebuah seminar pers, akhir Februari lalu, banyak wartawan yang berbeda pendapat dengan saya. Saya mengatakan bahwa masih sering terjadi ketegangan antara humas dan wartawan. Ketegangan itu, menurut saya, terjadi karena berbedanya harapan dari kedua belah pihak. Sebaliknya, teman-teman di Solo mengatakan, hubungan antara wartawan dan humas baik-baik saja. Terus terang, saya menaruh curiga justru bila hubungan itu dikatakan baik-baik. Tidak usahlah kita munafik dalam hal ini. Tetapi tidak sedikit hubungan baik yang dipupuk dengan imbalan-imbalan materi. Apakah kita sepakat memberi label baik untuk hubungan seperti itu ? Saya tidak mencurigai siapa-siapa, karena penyakit ini bahkan sudah dianggap budaya oleh beberapa orang. Saya pun tidak berpandangan bahwa ketegangan antara wartawan dan humas itu perlu dihapus. Ketegangan kreatif toh perlu ada. Media pers kadang-kadang merasa canggung untuk memberitakan sukses suatu bisnis tertentu. Pers khawatir dituduh khalayaknya memperoleh imbalan tertentu dari perusahaan yang diberitakan keberhasilannya itu. Alhasil, sukses bisnis jarang masuk media pers. Kalau bisnis masuk pemberitaan, lebih banyak karena ketidakberhasilannya. Sekarang pun, pemberitaan-pemberitaan membuat masyarakat menyimpulkan BUMN itu bobrok semua. Padahal, BUMN yang baik tak kurang jumlahnya. Akibatnya pun dapat diduga. Pimpinan bisnis menaruh curiga pada wartawan yang akan mewawancarainya. Disangkanya wartawan hanya mau mengorek berita buruk. Lalu dipasanglah gorden yang ketat agar wartawan tak menembus kamarnya. Mencari petugas humas pun sering kali harus melalui mekanisme yang luar blasa ketatnya. Tetapi, bila tiba-tiba perusahaan perlu menyebarluaskan sebuah berita, bagian humasnya akan kalang kabut menyebar undangan ke semua media pers. Untuk menyampaikan berita tentang peluncuran produk baru saja, mereka sibuk menelepon agar pemimpin redaksi sendiri yang menghadiri jumpa pers. Seolah-olah pekerjaan pemimpin redaksi hanya menghadiri jumpa pers. Lalu, apa sebenarnya pekerjaan humas? Yang jelas, ia bukan sekadar membagi keterangan pers, karena tugas utamanya adalah membangun citra baik organisasinya. Membangun citra baik itu dapat ditempuh dengan memupuk pengertian, dan pemupukan pengertian dapat dicapai dengan pembinaan hubungan yang intensif. Kapten bisnis dan industri sering pula menjadi sosok populer yang ikut membangun citra perusahaannya. Kalau kita mendengar Iacocca, kita ingat akan Chrysler. Kalau kita mendengar Akio Morita, mau tidak mau kita ingat akan sukses Sony. Kalau Tanri Abeng memberi komentar tentang makroekonomi perusahaan tempatnya bekerja akan ikut menikmati nama baik itu. Lalu, Anda sudah berbuat begitu banyak dan belum juga masuk berita? Jangan-jangan ada yang salah di sekeliling Anda sendiri. Sekretaris dan humas Anda mungkin telah "mengucilkan" Anda sehingga tak terjangkau oleh masyarakat pers. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini