BARU dua tahun Indonesia berhenti mengekspor kayu gelondongan, tapi kini dikabarkan sudah hendak mengimpor. Senin lalu, sebuah delegasi Asosiasi, Panel Kayu Indonesia (Apkindo) terbang ke Sabah (Malaysia) untuk mencari kayu gelondongan. Beberapa pejabat Apkindo mengungkapkan kepada TEMPO, delegasi itu pergi ke Sabah untuk membicarakan langsung soal harga, pemasokan, serta jumlah yang akan dibeli. Ada beberapa alasan mengapa Apkindo kini hendak mengimpor kayu gelondongan. Salah satunya, ternyata, sebagai bagian dari strategi Apkindo untuk bersaing dengan industri kayu lapis Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sejak Indonesia menghentikan ekspor kayu gelondongan, mulai 1985, industri kayu lapis di negara-negara itu ternyata masih mampu berproduksi secara bersaing dengan bahan baku dari Malaysia. Menurut sumber TEMPO, dengan bahan baku log Sabah yang dibeli US$S 55/m3 itu, Jepang bisa menjual kayu lapisnya dengan harga lebih murah sekitar US$ 40/m3. Harga kayu lapis belakangan telah menebal dari US$ 240 tahun silam menjadi US$ 360/m3 dewasa ini. Harga ini sangat merangsang ekspor tetapi Apkindo sulit menaikkan ekspornya gara-gara kena sodok kayu gelondongan Sabah. "Karena itu, kita harus menyerap kayu Malaysia itu," ujar seorang bos industri kayu lapis yang juga duduk sebagai pengurus Apkindo. Pengurus Apkindo mengakui, rencana mengimpor kayu gelondongan dari Malaysia itu, hingga kini, belum dilaporkan pada pemerintah. Tapi mereka berharap pemerintah akan memberi kelonggaran dengan membolehkan pengusaha mengimpor kayu gelondongan itu. "Tidak ada salahnya kami bekerja sama dengan negara tetangga dalam pengadaan kayu gelondongan ini, jika ternyata kami kekurangan log nantinya," kata Bob Hasan, Ketua Umum Apkindo. Selain itu, "Dengan mengimpor, bukankah kayu gelondongan kita bakal bisa dihemat," ujar Sofyan Siambaton, Direktur Utama PT Sumatera Timber Utama. STU, menurut Sofyan, memiliki konsesi hutan seluas 200.000 ha di Jambi, yang sanggup menghasilkan 10.000 m3 gelondongan sesuai dengan kebutuhan STU setiap tahun. Tetapi perusahaan yang mampu menghasilkan 5.000 m3 kayu lapis itu berusaha menghemat kekayaan hutannya dengan membeli 3.000 m3 log dari Pontianak. "Nah, kalau Indonesia mengimpor, bukankah kayu di dalam negeri bisa dijadikan stok?" katanya. Kendati kayu gelondongan Sabah mahal dibandingkan log Pontianak -- US$ 100 lawan US$ 75 per m3 -- log dari Malaysia itu dipandang baik, karena ukurannya lebih besar dan panjang hingga bisa menaikkan tingkat produksi. Karena itu, menurut seorang bos industri kayu lapis yang juga pengurus Apkindo, pemakaian kayu gelondongan Sabah itu tetap masih bisa menguntungkan. Perhitungannya, taruh kata setiap kubik kayu lapis membutuhkan 2 m3 log, berarti US$ 200, ditambah biaya operasional maksimal US$ 100. Dengan harga kayu lapis sekarang US$ 360, berarti mereka masih bisa laba sekitar US$ 60 per m3. Tahun silam, ekspor kayu lapis Indonesia berjumlah 4,6 juta m3 dan menghasilkan devisa US$ 1,1 milyar. Tahun ini, menurut seorang pejabat harian Apkindo, volume ekspor kemungkinan tak bisa ditingkatkan banyak. Tetapi bila harga kayu lapis terus bertahan setebal sekarang, syukur kalau naik lagi, devisa yang diharapkan Apkindo sekitar US$ 1,5 milyar. Kalau Apkindo jadi mengimpor log satu juta ton dari Sabah, maka sasaran penerimaan devisa itu harus dikurangi US$ 100 juta. Tak apa, asal pengurangan itu bermanfaat untuk menjaga kelestarian hutan sendiri sambil menyodok saingan dengan cara sehat. M.W., Laporan Budi Kusumah & Rudy Novrianto (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini