Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM panas tiba, lahan dan hutan kembali terbakar. Pemerintah, seperti biasa, tergagap. Berkaca pada yang sudah-sudah, kita boleh menduga kebakaran hanya akan berakhir saat hujan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun ini, titik panas alias titik kebakaran mulai banyak bermunculan sejak Juli lalu. Hingga awal September, analisis Greenpeace Indonesia atas data BRIN Fire Hotspot menemukan lebih dari 124 ribu titik panas tersebar di seluruh provinsi. Terbanyak di Kalimantan Barat, mencapai hampir 38 ribu titik. Total area yang terbakar, menurut kajian Yayasan Madani Berkelanjutan, seluas 262 ribu hektare, lebih luas dari tahun lalu, yang menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencapai 204 ribu hektare. Area yang paling banyak terbakar adalah kawasan hidrologis gambut (KHG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luas KHG di Indonesia mencapai 24,2 juta hektare yang tersebar di seluruh provinsi. Dari jumlah itu, sebanyak 16,4 juta hektare dalam kerentanan tingkat tinggi dan sedang, atau bisa disebut kritis. Semestinya, 65,9 persen lahan gambut itu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Gambut merupakan kawasan hutan yang menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar. Kebakaran lahan gambut yang tidak pernah dapat dikendalikan dari tahun ke tahun tentu melepaskan emisi yang banyak pula. Tak mengherankan saat ini Indonesia tercatat sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, dan India.
Pemerintah bisa saja berdalih titik panas terlalu banyak dan sporadis, sumber daya yang dimiliki tak memadai untuk mengatasi semua kebakaran. Fakta mengisyaratkan pemerintah sebenarnya tidak peduli, bukan tidak sanggup.
Analisis Greenpeace menunjukkan mayoritas titik api muncul di tempat yang sama dengan lokasi kebakaran pada tahun-tahun sebelumnya, yakni di wilayah konsesi perusahaan. Kalau pemerintah peduli, kebakaran berulang di wilayah konsesi yang sama semestinya dapat dicegah.
Undang-Undang Kehutanan, yang kemudian diperbarui dalam Undang-Undang Cipta Kerja, mewajibkan perusahaan mencegah serta mengendalikan kebakaran lahan dan hutan di wilayah konsesinya. Bagi yang lalai, sanksinya hingga berupa pencabutan izin usaha. Tapi kita jarang mendengar pemerintah menegakkan aturan tersebut. Kesan yang tampak adalah pemerintah lemah di hadapan korporasi perusak hutan.
Hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo, tidak tampak ada upaya serius untuk menertibkan perusahaan pemegang konsesi. Bahkan Jokowi memiliki rekam jejak buruk dalam hal kebakaran hutan. Setahun setelah dia dilantik, pada 2015, terjadi kebakaran hutan besar mencapai 2,6 juta hektare—terluas setelah kebakaran pada 1997 (9 juta hektare) dan 1982 (3 juta hektare)—yang menyebabkan bencana asap hingga ke Malaysia dan Singapura.
Sebuah studi oleh 12 peneliti dari Harvard University dan Columbia University, yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Research Letters, mengklaim kebakaran tersebut menyebabkan lebih dari 100.300 kasus kematian pada periode September-Oktober 2015. Sekitar 6.500 kasus terjadi di Malaysia dan 2.200 di Singapura.
Pasca-peristiwa tersebut, pada Januari 2016, Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut—kini berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Namanya mentereng. Tujuannya adalah memperbaiki lahan-lahan gambut kritis agar tidak mudah terbakar.
Tapi penugasan BRGM setengah-setengah. Target restorasi yang dibebankan kepada lembaga ini pun terus berkurang, dari 1,7 juta hektare pada 2016-2020 menjadi hanya 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024. Padahal lahan gambut yang perlu direstorasi lebih dari 16,4 juta hektare. ***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo