TEMAN saya, yang sarjana hukum, tertegun waktu mendengar Biro
Pusat Statistik mengadakan seminar tentang tingkat kematian
bayi. Ia sendiri tukang seminar. Ia juga banyak hadir di
berbagai lokakarya, widyakarya, pentaloka maupun gembiraloka.
Tetapi semuanya mesti bicara soal yang elok, perkara yang
ngetop, judul yang aduhai. Menurut dia, tema baku sebuah
pergunjingan kaum lokakaryawan semacam itu mestilah mentereng.
Misalnya, peranan . . . gombal dalam . . . menyemir sepatu.
Atau segi-segi . . . tiga pengaman, pada pengendalian . . . truk
mogok.
Tetapi bayi mati diseminarkan? Bukankah itu sebuah tragedi, yang
harus ditangisi, bukan sebuah masalah yang mesti ditelaah? Maka
ia pun memberanikan diri menggugat. Agak sulit menjelaskan soal
ini, bagi teman yang beranjak dari sudut pandang yustisi.
Maka saya pun mencari referensi otoritas dari orang yang membela
diri. Menurut Stalin, bila seorang mati, memang itu sebuah
tragedi. Tetapi bila sejuta manusia mati, itu data statistik.
Menurut Pak Haryono Suyono, bila seorang bayi lahir, itu
peristiwa bahagia. Tetapi bila enam juta bayi lahir, itu masalah
keluarga berencana.
Baru teman saya manggut-manggut. Seminar memang suka berurusan
dengan data atau malapetaka. Tetapi ia pun belum mengerti benar,
misalnya, mengapa dr. Henry Pardoko mengatakan: bayi, selain
sebagai barang produksi, juga merupakan barang modal. Malahan
dikatakan sebagai barang konsumsi, kadang-kadang juga berfungsi
sebagai pelengkap tuntutan adat dan kenduri.
Ihwal bayi sebagai barang produksi, semua orang sudah maklum.
Yang sulit mengerti dalam kaitan ekonomi, ialah kenapa makin
sedikit produksi makin pantas pabriknya dipuji. Sebagai barang
konsumsi, konon karena sejak membuat, melahirkan sampai
memeliharanya, bayi ialah sebuah hiburan bagi keluarga. Jasa
hiburan sang bayi ialah komoditi ekonomi yang dikonsumsi oleh
ibu, ayah, nenek, kakek, dan kerabat. Sebagai modal, bayi ialah
tabungan hari tua. Makin banyak ditabung, dikira makin aman masa
depan di hari jompo bapak ibunya. Dalih ini yang dilabrak orang
KB di mana-mana.
Baik sebagai barang produksi, konsumsi maupun modal kalau bayi
mati selalu menjadi perkara duka. Semua orang dan negara tidak
ingin terlalu banyak anak manusia yang lahir kemudian sebelum
genap setahun mati begitu saja. Juga PBB ingin menekan angka
kematian bayi yang menghantui banyak negara miskin dan di semua
keluarga di mana saja.
Memang, dilema kebijakan kependudukan selalu dipacu oleh dua
keharusan yang tampaknya berlawanan. Untuk menekan tingkat
pertumbuhan penduduk, angka kelahiran harus ditekan. Tetapi di
pihak lain angka kematian pun harus diturunkan. Bila dampak
kebijakan itu ingin nyata tercermin dalam bentuk turunnya angka
pertambahan penduduk, turunnya tingkat kelahiran harus lebih
pesat dari turunnya angka kematian. Padahal pelayanan kesehatan
penduduk juga digenjot. Repot bukan?
Di Indonesia saat ini diperkirakan satu orang bayi mati sebelum
umur setahun pada setiap sepuluh kelahiran. Angka ini tergolong
tinggi, walaupun sudah jauh lebih baik dari dua puluh tahun yang
lalu. Ketika itu seorang bayi mati sebelum umur setahun pada
tiap lima kelahiran. Di negara maju angka itu tinggal satu atau
dua orang bayi yang mati sebelum umur setahun pada tiap seratus
kelahiran. Negara yang semiskin Sri Langka atau Negara Bagian
Kerala, India, sudah lama mencapai keadaan yang dua kali lebih
baik dari tragedi bayi di Indonesia.
Apa pasal?
Tetanus, mencret, radang akut saluran pernapasan dan meningitis
adalah pembunuh bayi utama. James Grants, bosnya Unicef
menuding masalah kekurangan gizi, sanitasi, air bersih, dan
pengetahuan kesehatan sebagai biang tingginya tingkat kematian
bayi di banyak negara miskin. Tidak mengherankan bila dalam
program pembangunan kesehatan Indonesia pun komponen gizi, air
bersih, sanitasi dan pendidikan kesehatan dipacu secara
besar-besaran.
Tetapi menunggu tibanya makanan bergizi, lingkungan yang bersih
dan sehat, air ledeng, atau bahkan pengetahuan kesehatan yang
makin baik di antara penduduk, berarti pula menunggu sampai
tingkat dan kualitas hidup makin lebih baik dan merata ke
desa-desa. Menunggu sampai tingkat pendidikan, pendapatan dan
produktivitas cukup untuk menghadang tingkat kematian bayi itu,
sampai tingkat yang cukup rendah, berdasar pengalaman banyak
negara berkembang, berskala waktu puluhan tahun.
Sementara itu, lingkaran setan (vicious circlc) bayi mati
kurang gizi ini pun berjalan terus. Karena anak-anak yang dapat
bertahan hidup itu pun sebagian tumbuh menjadi dewasa dalam
kondisi gizi kurang cukup. maka ia jadi tenaga kerja yang kurang
produktif. Juga menjadi orangtua yang melahirkan bayi dengan
daya tahan terhadap penyakit yang masih buruk. Prevalensi kurang
kalori protein di antara anak balita di Indonesia ditemukan di
sekitar 3040 persen.
LINGkARAN setan ini harus dipatahkan. Karena semua orang ingin
tampak berwajah lebih pantas, bila bercermin pada peta
kesejahteraan rakyat dan bangsanya. Jalan pintas harus
ditemukan, bila ingin cepat mencapai mutu kehidupan yang pantas
bagi sebuah negara yang merdeka angka kematian bayi harus
ditekan sampai di bawah lima puluh perseribu kelahiran sebelum
akhir abad ini.
Bila dekade enam puluhan ditandai dengan revolusi teknologi
kontrasepsi untuk pengaturan kelahiran, dekade delapan puluhan
ditandai dengan revolusi teknologi imunisasi dan rehidrasi untuk
mengerem angka bayi yang mati. Menurut WHO yang juga disokong
Unicef, tetanus pada bayi, mesti dicegah dengan imunisasi sejak
ibunya hamil bahkan kepada semua wanita umur dapat melahirkan.
Karena siapa tahu, setiap saat ia bisa kawin dan hamil.
Sedang mencret. konon dihadang dengan cekokan garam oralit atau
larutan garam dan gula dalam takaran tepat sebagai rehidrasi,
alias meningkatkan tingkat penyerapan tubuh atas cairan pada
bayi yang berak-berak. Untuk menjamin gizi bayi sampai umur
setahun, tidak ada yang lebih tepat dari menganjurkan memberinya
dengan air susu ibu.
Teknologinya telah ditemukan. Obatnya mudah dan mudah diperoleh.
Masalahnya, dapatkah kita mengorganisasikan pelayanan dan
penyuluhan, serta menyertakan masyarakat yang terorganisasi
sendiri mengatasi problem akutnya itu. Atau, mungkinkah
meyakinkan profesi kedokteran untuk diajak berpikir dan
bertindak untuk soal yang sepele itu? Manakala impian profesi
sudah digantung ke teknologi tinggi, memindah jantung, menyemai
sperma, atau ikut memasarkan obat yang menawarkan serba impian
kesehatan dan kesegaran jasmani di angan-angan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini