Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ihwal bayi

Di indonesia, tingkat kematian bayi dianggap masih tinggi. penyebabnya: berbagai penyakit akibat buruknya gizi, sanitasi dan pengetahuan kesehatan. peran profesi kedokteran mungkin perlu dilibatkan.

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMAN saya, yang sarjana hukum, tertegun waktu mendengar Biro Pusat Statistik mengadakan seminar tentang tingkat kematian bayi. Ia sendiri tukang seminar. Ia juga banyak hadir di berbagai lokakarya, widyakarya, pentaloka maupun gembiraloka. Tetapi semuanya mesti bicara soal yang elok, perkara yang ngetop, judul yang aduhai. Menurut dia, tema baku sebuah pergunjingan kaum lokakaryawan semacam itu mestilah mentereng. Misalnya, peranan . . . gombal dalam . . . menyemir sepatu. Atau segi-segi . . . tiga pengaman, pada pengendalian . . . truk mogok. Tetapi bayi mati diseminarkan? Bukankah itu sebuah tragedi, yang harus ditangisi, bukan sebuah masalah yang mesti ditelaah? Maka ia pun memberanikan diri menggugat. Agak sulit menjelaskan soal ini, bagi teman yang beranjak dari sudut pandang yustisi. Maka saya pun mencari referensi otoritas dari orang yang membela diri. Menurut Stalin, bila seorang mati, memang itu sebuah tragedi. Tetapi bila sejuta manusia mati, itu data statistik. Menurut Pak Haryono Suyono, bila seorang bayi lahir, itu peristiwa bahagia. Tetapi bila enam juta bayi lahir, itu masalah keluarga berencana. Baru teman saya manggut-manggut. Seminar memang suka berurusan dengan data atau malapetaka. Tetapi ia pun belum mengerti benar, misalnya, mengapa dr. Henry Pardoko mengatakan: bayi, selain sebagai barang produksi, juga merupakan barang modal. Malahan dikatakan sebagai barang konsumsi, kadang-kadang juga berfungsi sebagai pelengkap tuntutan adat dan kenduri. Ihwal bayi sebagai barang produksi, semua orang sudah maklum. Yang sulit mengerti dalam kaitan ekonomi, ialah kenapa makin sedikit produksi makin pantas pabriknya dipuji. Sebagai barang konsumsi, konon karena sejak membuat, melahirkan sampai memeliharanya, bayi ialah sebuah hiburan bagi keluarga. Jasa hiburan sang bayi ialah komoditi ekonomi yang dikonsumsi oleh ibu, ayah, nenek, kakek, dan kerabat. Sebagai modal, bayi ialah tabungan hari tua. Makin banyak ditabung, dikira makin aman masa depan di hari jompo bapak ibunya. Dalih ini yang dilabrak orang KB di mana-mana. Baik sebagai barang produksi, konsumsi maupun modal kalau bayi mati selalu menjadi perkara duka. Semua orang dan negara tidak ingin terlalu banyak anak manusia yang lahir kemudian sebelum genap setahun mati begitu saja. Juga PBB ingin menekan angka kematian bayi yang menghantui banyak negara miskin dan di semua keluarga di mana saja. Memang, dilema kebijakan kependudukan selalu dipacu oleh dua keharusan yang tampaknya berlawanan. Untuk menekan tingkat pertumbuhan penduduk, angka kelahiran harus ditekan. Tetapi di pihak lain angka kematian pun harus diturunkan. Bila dampak kebijakan itu ingin nyata tercermin dalam bentuk turunnya angka pertambahan penduduk, turunnya tingkat kelahiran harus lebih pesat dari turunnya angka kematian. Padahal pelayanan kesehatan penduduk juga digenjot. Repot bukan? Di Indonesia saat ini diperkirakan satu orang bayi mati sebelum umur setahun pada setiap sepuluh kelahiran. Angka ini tergolong tinggi, walaupun sudah jauh lebih baik dari dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu seorang bayi mati sebelum umur setahun pada tiap lima kelahiran. Di negara maju angka itu tinggal satu atau dua orang bayi yang mati sebelum umur setahun pada tiap seratus kelahiran. Negara yang semiskin Sri Langka atau Negara Bagian Kerala, India, sudah lama mencapai keadaan yang dua kali lebih baik dari tragedi bayi di Indonesia. Apa pasal? Tetanus, mencret, radang akut saluran pernapasan dan meningitis adalah pembunuh bayi utama. James Grants, bosnya Unicef menuding masalah kekurangan gizi, sanitasi, air bersih, dan pengetahuan kesehatan sebagai biang tingginya tingkat kematian bayi di banyak negara miskin. Tidak mengherankan bila dalam program pembangunan kesehatan Indonesia pun komponen gizi, air bersih, sanitasi dan pendidikan kesehatan dipacu secara besar-besaran. Tetapi menunggu tibanya makanan bergizi, lingkungan yang bersih dan sehat, air ledeng, atau bahkan pengetahuan kesehatan yang makin baik di antara penduduk, berarti pula menunggu sampai tingkat dan kualitas hidup makin lebih baik dan merata ke desa-desa. Menunggu sampai tingkat pendidikan, pendapatan dan produktivitas cukup untuk menghadang tingkat kematian bayi itu, sampai tingkat yang cukup rendah, berdasar pengalaman banyak negara berkembang, berskala waktu puluhan tahun. Sementara itu, lingkaran setan (vicious circlc) bayi mati kurang gizi ini pun berjalan terus. Karena anak-anak yang dapat bertahan hidup itu pun sebagian tumbuh menjadi dewasa dalam kondisi gizi kurang cukup. maka ia jadi tenaga kerja yang kurang produktif. Juga menjadi orangtua yang melahirkan bayi dengan daya tahan terhadap penyakit yang masih buruk. Prevalensi kurang kalori protein di antara anak balita di Indonesia ditemukan di sekitar 3040 persen. LINGkARAN setan ini harus dipatahkan. Karena semua orang ingin tampak berwajah lebih pantas, bila bercermin pada peta kesejahteraan rakyat dan bangsanya. Jalan pintas harus ditemukan, bila ingin cepat mencapai mutu kehidupan yang pantas bagi sebuah negara yang merdeka angka kematian bayi harus ditekan sampai di bawah lima puluh perseribu kelahiran sebelum akhir abad ini. Bila dekade enam puluhan ditandai dengan revolusi teknologi kontrasepsi untuk pengaturan kelahiran, dekade delapan puluhan ditandai dengan revolusi teknologi imunisasi dan rehidrasi untuk mengerem angka bayi yang mati. Menurut WHO yang juga disokong Unicef, tetanus pada bayi, mesti dicegah dengan imunisasi sejak ibunya hamil bahkan kepada semua wanita umur dapat melahirkan. Karena siapa tahu, setiap saat ia bisa kawin dan hamil. Sedang mencret. konon dihadang dengan cekokan garam oralit atau larutan garam dan gula dalam takaran tepat sebagai rehidrasi, alias meningkatkan tingkat penyerapan tubuh atas cairan pada bayi yang berak-berak. Untuk menjamin gizi bayi sampai umur setahun, tidak ada yang lebih tepat dari menganjurkan memberinya dengan air susu ibu. Teknologinya telah ditemukan. Obatnya mudah dan mudah diperoleh. Masalahnya, dapatkah kita mengorganisasikan pelayanan dan penyuluhan, serta menyertakan masyarakat yang terorganisasi sendiri mengatasi problem akutnya itu. Atau, mungkinkah meyakinkan profesi kedokteran untuk diajak berpikir dan bertindak untuk soal yang sepele itu? Manakala impian profesi sudah digantung ke teknologi tinggi, memindah jantung, menyemai sperma, atau ikut memasarkan obat yang menawarkan serba impian kesehatan dan kesegaran jasmani di angan-angan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus