WAKTU awal tahun enampuluhan Bung Karno meneriaki imperialisme
yang sekarat, rupanya ia salah lihat. Sebab sekarang mulai
nampak, menggigilnya imperialisme saat itu, bukan mau mati tapi
sedang tiwikromo: berobah bentuk menjadi lebih mengerikan.
Kedua lengannya memang copot kena pedang gerakan kemerdekaan
nasional, tetapi segera tumbuh seribu tangan baru. Kepaianya
memang retak terhimpit solidaritas internasional, tetapi
kepala-kepala baru muncul, lima, seratus bahkan seribu muka
menyeringai.
Kini raksasa ini mulai merayapkan kembali tangannya. Ia tidak
menjual idiologi dan mengobral darah lagi, tetapi menjual sabun,
obat-obatan, minuman, bier, sepeda motor, mobil, uang, komputer
bahkan harapan dan impian. Ia tidak melakukan penindasan dan
perampasan, tetapi menciptakan ketergantungan dan mengikat
perlahan-lahan kedaulatan. Ia tidak bertahta di kemaharajaan,
tetapi terbang di awanawang tanpa dangka kahyangan. Ia bisa
nglurung tanpa bala (tentara), tetapi cukup dengan modal,
teknologi dan kendali. Ia bisa menang tanpa ngasrake
(menaklukkan) karena presiden, gubernur dan semua perangkat
pemerintahan tidak perlu goyah kedudukannya karena
kemenangannya. Ia punya seribu nama telapi tak satupun tepat
dapat merangkum gambaran wujudnya. Ia bernama multinational,
transnational, world's corporates, global shopping center dan
lain-lain. Wujudnya berupa perusahaan maha raksasa yang operasi
usahanya menjangkau banyak negara: FNCB, Union Carbide, G.M.,
IBM, Caltex, Unilever, Goodyear, Mitsui, Inco adalah beberapa
contohnya Apapun namanya, ia adalah sistem usaha yang
pengaruhnya terhadap kehidupan, layak mendapat perhatian
sewajarnya.
***
Operasi melintasi batas nasional perusanaan-perusahaan
maharaksasa dari Amerika. Eropa Barat dan Jepang itu seperti
dajal yang lahap menggelembungkan labanya jual barang dan jasa,
patent, lisensi, penggunaan merk usaha dan membayangi mangsanya
dengan memanipulir impian dan persepsi bawah sadar mereka lewat
iklan dan promosi.
Lewat offensifilya ke banyak negara, jangkauan pasar diperluas.
Sumber bahan mentah dicari di mana saja. Utamanya dari negara
yang bisa murah dibeli, mudah, dekat dan "tidak banyak
cingcong". Dengan menyebarkan usaha ke banyak empat, risiko
kegoncangan karena faktor-faktor ekstern disebar, sehingga
kebangkrutan makin kecil kemungkinannya.
Masalah pelik menghadapi kerja multinational itu timbul karena
ia memegang banyak bendera, dipancangkan pada tiga tiang
kepentingam Pertama kepentingan strategi perusahaan secara
keseluruhan. Kedua kepentingan pemerintah nasional di mana
cabang-cabang usaha (subsidiaries) beroperasi. Dan yang paling
penting diingat kepentingan negara-negara lain, khususnya tempat
induk usahanya berdomisili.
Masing-masing kekuatan itu besar pengaruhnya terhadap perilaku
kegiatan usaha sang multinational. Kebijaksanaan yang diambil
demi salah satu dari ketiga kepentingan itu, langsung menusuk
dan dirasakan pengaruhnya terhadap pemenuhan kepentingan yang
lain dalam suatu sistim di mana kekuatan komponen-komponennya
tidak seimbang, maka komponen yang lemah akan selalu tersedot
oleh kekuatan komponen yang kuat. Dari ketiga komponen
kepentingan tadi, bisa diterka mana yang kuat, mana yang lemah.
***
Nah, sekarang apa akibat yang mulai dirasakan dari interaksi
antara kekuatan ketiga kepentingan di atas. Secara tak sadar,
kini dirasakan berkembangnya hegemoni tanpa ideologi.
Pola konsumsi, gaya hidup dan citarasa masyarakat diolah dan
dimanipulir oleh promosi pemasaran produk-produk perusahaan
multinational lewat media advertensi secara sangat intensip.
Perhatikan pengaruh Coca Cola, Aspirin, Honda, IBM dan lain-lain
dalam kehidupan di mana-mana.
Karena dipaksa oleh bekerjanya kekuatan dari tiga kepentingan
itu, perusahaan multinational bila perlu tidak segan-segan
menggunakan cara yang dapat merusak moral pengambil keputusan.
Ada dengan tekanan untuk pemojokan, bahkan intimidasi dan
penyuapan. Tercatat misalnya usaha ITT menggulingkan Presiden
Salvador Allende dari Chili. Penyuapan Tanaka, Pangeran Bernards
dan sejumlah pejabat negara berwibawa lainnya oleh Lockheed
pemojokan dan intrik yang diungkapkan dalam kasus LNG di Aceh.
Ini semua hanya sekelumit contoh.
Sementara itu, karena motif keuntungan semata-mata, pola
kegiatan perusahaan multinational cenderung menciptakan
kesejahteraan yang timpang dan merangsang gaya hidup yang sangat
boros. Tiap peserta kelebihan pendapatan langsung dicegat dengan
variasi produksi yang telah disiapkan. Barang-barang dan
teknologi yang dijual secara terencana dibuat cepat usang atau
ketinggalan zaman. Sasaran inceran adalah strata masyarakat
berpendapatan tinggi. Mereka ini terus menerus dirangsang untuk
menjadi konsumtip. Belum lagi kelicikan memindah-mindahkan
industri yang mencemari, dari negara yang mulai galak, ke negara
yang masih belum tahu.
**
"Pertumbuhan ekonomi" yang dibawa oleh perusahaan multinational
itu secara inher(nt meningkatkan intensitas ketergantungan
ekonomi di antara berbagai negara melalui matarantai
subsidiariesnya di negara tersebut.
Celakanya perilaku dari sistem ikatan ini sebagian terbesar di
luar jangkauan pengendalian otoritas pemerintahan negara-negara
itu. Kehendak otoritas pemerintahan suatu negara untuk mencapai
tujuan nasional tidak selaln bisa didukung sepenuhnya oleh
perusahaan multinational karena adanya tiga kekuatan kepentingan
di atas. Jadi makin besar peranan perusahaan multinational dalam
kehidupan sosial ekonomi, berarti makin tinggi intensitas
penetrasinya terhadap kedaulatan nasional suatu negara dalam
menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.
Ketergantungan penyediaan kebutuhan pokok seperti sabun mandi,
sabun cuci, margarine, pasta gigi, minyak goreng dan keterikatan
pada pelayanan teknologi atas jantung sistem administrasi dan
pertahanan pada perusahaan multinational, bisa sangat vulnerable
buat bangsa itu. Unilever, IBM misalnya memegang peranan penting
di bidang ini di Amerika Latin, Asia dan Afrika. Begitu pula
penggalian sumber-sumber alam dan mineral. Apa kita juga sudah
siap menghadapi berbagai kemungkinan itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini