KALAU di Jawa bambu runcing merupakan senjata andalan para
pejuang dizaman revolusi fisik, lain halnya di pedalaman
Kalimantan. Meskipun tidak diabadikan dalam lagu perjuangan, di
sana mandau (pedang) dan sumpit bermata tombak dua senjata
tradisionil suku-suku Dayak - pernah dipakai menghadapi senapan
dan bayonet Belanda. "Itu sebabnya para pejabat dari Jawa,
setelah selesai bertugas di sini selalu berusaha membawa mandau
Dayak. Sebagai kenang-kenangan akan daerah ini, sekaligus
sebagai peringatan akan peranan senjata tradisionil Dayak ini
dalam perjuangan 45 tempo hari", begitu tutur Hasan Pandai, 47
tahun, pengrajin mandau di desa Ampah, kabupaten Barito Timur,
Kalimantan Tengah.
Hasan Pandai ini, seorang eks pejuang 45 dan seorang Dayak suku
Lawangan, sudah 2 generasi masuk Islam karena pergaulannya
dengan orang-orang Banjar Hulu Sungai dari Kalimantan Selatan.
Dia termasuk salah satu dari segelintir pandai besi pembuat
mandau yang sudah sangat langka di Kalimantan Tengah yang
kebanyakan memang sudah tua-tua. Kepandaian itu diperolehnya
selama merantau dan berguru pencaksilat selama 15 tahun di masa
mudanya, ketika dia juga mengikuti revolusi fisik di Tanjung,
ibukota kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. "Curu saya ada
sembilan orang, tapi sudah mati semua. Padahal anak saya
sendiri, tidak satupun ada yang mau mewarisi ilmu ini", katanya
pada wartawan TEMPO G.Y. Adicondro yang mampir ke rumahnya di
Ampah bulan lalu.
Memang, membuat mandau yang betul-betul ampuh dan berseni,
membutuhkan keahlian, kesabaran, ketekunan, ketelitian dan jiwa
seni, yang tidak begitu menarik pemuda-pemuda dari pedalaman
Kalimantan yang lebih senang hijrah ke kota besar untuk menjadi
sarjana atau pamongpraja. Bayangkan saja, untuk membuat sebuah
mandau yang panjang matanya bisa sampai « meter, bisa makan waktu
sampai 3 bulan. "Itu kalau semua bahan mentahnya sudah tesedia,
jadi tinggal mengerjakannya saja. Kalau tidak, bisa makan waktu
sampai 6 bulan", begitu Hasan Pandai menambahkan, sembari
memperlihatkan dua buah mandau pesanan seorang Komandan Resort
Polisi yang mau pulang ke Jawa. Dan harganya juga nauzubillah:
antara Rp 30 s/d 40 ribu, tergantung apakah mata mandaunya sudah
disediakan oleh pemesannya, atau belum.
Yang Tak Berkarat
Bahan mentah untuk membuat mandau itu memang banyak. Mata
pedangnya sendiri, dewasa ini kebanyakan di buat dari baja per
mobil. Bahan itulah yang harus ditempa, diasah kemudian ditatah
dengan ukiran lubang dan guratan khas Dayak. Warna besinya agak
hitam. Tapi kalau mau membuat mata mandau dari apa yang di sana
dikenal sebagai "besi putih" alias baja tak berkarat (stainless
steel), para pandai besi umumnya memanfaatkan baja as mobil.
Sedang di zaman bahari ketika mobil belum masuk ke belantara
Kalimantan empu-empu Dayak yang dikabarkan punya kesaktian tak
kalah dengan Mpu Gandring di Jawa Timur menggunakan batu besi
(bijih besi?) yang ditempa (diurut) dengan tangan telanjang.
Kini, mandau-mandau antik dari batu besi begitu harganya bisa
sampai Rp 50 ribu, paling sedikit.
Setelah mata mandaunya jadi, dibuatlah pegangannya dari tanduk
rusa, atau kayu. Yang dari tanduk rusa, warnanya putih, sedang
yang dari kayu, berwarna hitam mengkilat. Tapi warna hitam itu
bukan warna aslinya, juga bukan cat atau semir sepatu. Melainkan
karena kayu itu sudah direndam dalam lumpur selama dua hari dua
malam, kemudian direbus dengan pucuk daun rambutan selama dua
hari dua malam pula. Selanjutnya kayu dan sisa-sisa daun
rambutan itu dikubur lagi dalam lumpur selama seminggu. Dengan
demikian warna hitam itu betul-betul meresap sampai ke dalam,
dan tidak dapat terkelupas. Penggunaan daun rambutan itu boleh
dikata sudah agak 'modern', sebab pohon buah ini memang dapat
ditanam di pekarangan. Sedang resep yang lebih 'asli' - yang
masih digunakan pula dalam penghitaman rotan untuk kerajinan
anyaman di hilir sungai Kapuas - adalah daun tapanggang yang
tumbuh liar di hutan.
Sarung Mandau
Tahap berikutnya setelah pegangan mandau selesai diukir dengan
motif taring-taring binatang buas, adalah pembuatan kumpang
alias sarungnya. Kumpang itu dibuat dari kayu tertentu, antara
lain kayu sawo dan diukir dengan motif khas daerah Barito Timur,
yakni berbentuk naga kembar. Sebelumnya kedua bilah sarung atas
dan bawal 'diikat' dengan simpul anyaman yang bercorak 'jantan'
atau 'betina'. Banyaknya dan jenis simpul anyaman yang mengikat
sarung mandau itu, tergantung pada panjang mandau dan ketinggian
ilmu pemakainya Mandau yang kecil seperti yang lazimnya dibawa
dalam koper pemuda-pemuda Barito Timur di perantauan, hanya
diikat dengan sepasang simpai (simpul) jantan dan betina. Namun
mandau seorang pendekar di zaman bahari - yang bisa juga dipesan
di masa kini untuk hiasan dinding bisa dililiti sampai 4 simpai
jantan karena panjangnya « meter lebih.
Sarung mandau ini, yang di ujungu-jungnya ditempeli hiasan
tanduk menjangan pula, tidak lengkap kalau tidak disertai sarung
anak pisau bergagang kayu atau gading. Kemudian dipolitur,
supaya wama asli kayu, tanduk dan simpai rotan (yang juga
dihitamkan menurut resep tradisionil Dayak tadi), tambah
menonjol. Paling akhir adalah memberi hiasan dengan
rumbai-rumbai di pegangan mandau maupun di sarungnya. Di zaman
bahari, mandau para pendekar dihiasi rambut kepala musuh-musuh
yang sudah dipancungnya, plus taring dan kuku cakar binatang
buas yang sudah dibunuhnya. Namun di masa kini, pegangan mandau
bikinan Hasan Pandai itu cukup dihiasi rumbai jannut kambing
bandot yang berwarna kuning keemasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini