Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Per mobil, daun rambutan dan ...

Mandau adalah senjata tradisional khas suku bangsa dayak di pedalaman kalimantan. pejabat dari jawa yang habis bertugas di daerah itu selalu ingin membawa mandau untuk kenangan.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU di Jawa bambu runcing merupakan senjata andalan para pejuang dizaman revolusi fisik, lain halnya di pedalaman Kalimantan. Meskipun tidak diabadikan dalam lagu perjuangan, di sana mandau (pedang) dan sumpit bermata tombak dua senjata tradisionil suku-suku Dayak - pernah dipakai menghadapi senapan dan bayonet Belanda. "Itu sebabnya para pejabat dari Jawa, setelah selesai bertugas di sini selalu berusaha membawa mandau Dayak. Sebagai kenang-kenangan akan daerah ini, sekaligus sebagai peringatan akan peranan senjata tradisionil Dayak ini dalam perjuangan 45 tempo hari", begitu tutur Hasan Pandai, 47 tahun, pengrajin mandau di desa Ampah, kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Hasan Pandai ini, seorang eks pejuang 45 dan seorang Dayak suku Lawangan, sudah 2 generasi masuk Islam karena pergaulannya dengan orang-orang Banjar Hulu Sungai dari Kalimantan Selatan. Dia termasuk salah satu dari segelintir pandai besi pembuat mandau yang sudah sangat langka di Kalimantan Tengah yang kebanyakan memang sudah tua-tua. Kepandaian itu diperolehnya selama merantau dan berguru pencaksilat selama 15 tahun di masa mudanya, ketika dia juga mengikuti revolusi fisik di Tanjung, ibukota kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. "Curu saya ada sembilan orang, tapi sudah mati semua. Padahal anak saya sendiri, tidak satupun ada yang mau mewarisi ilmu ini", katanya pada wartawan TEMPO G.Y. Adicondro yang mampir ke rumahnya di Ampah bulan lalu. Memang, membuat mandau yang betul-betul ampuh dan berseni, membutuhkan keahlian, kesabaran, ketekunan, ketelitian dan jiwa seni, yang tidak begitu menarik pemuda-pemuda dari pedalaman Kalimantan yang lebih senang hijrah ke kota besar untuk menjadi sarjana atau pamongpraja. Bayangkan saja, untuk membuat sebuah mandau yang panjang matanya bisa sampai « meter, bisa makan waktu sampai 3 bulan. "Itu kalau semua bahan mentahnya sudah tesedia, jadi tinggal mengerjakannya saja. Kalau tidak, bisa makan waktu sampai 6 bulan", begitu Hasan Pandai menambahkan, sembari memperlihatkan dua buah mandau pesanan seorang Komandan Resort Polisi yang mau pulang ke Jawa. Dan harganya juga nauzubillah: antara Rp 30 s/d 40 ribu, tergantung apakah mata mandaunya sudah disediakan oleh pemesannya, atau belum. Yang Tak Berkarat Bahan mentah untuk membuat mandau itu memang banyak. Mata pedangnya sendiri, dewasa ini kebanyakan di buat dari baja per mobil. Bahan itulah yang harus ditempa, diasah kemudian ditatah dengan ukiran lubang dan guratan khas Dayak. Warna besinya agak hitam. Tapi kalau mau membuat mata mandau dari apa yang di sana dikenal sebagai "besi putih" alias baja tak berkarat (stainless steel), para pandai besi umumnya memanfaatkan baja as mobil. Sedang di zaman bahari ketika mobil belum masuk ke belantara Kalimantan empu-empu Dayak yang dikabarkan punya kesaktian tak kalah dengan Mpu Gandring di Jawa Timur menggunakan batu besi (bijih besi?) yang ditempa (diurut) dengan tangan telanjang. Kini, mandau-mandau antik dari batu besi begitu harganya bisa sampai Rp 50 ribu, paling sedikit. Setelah mata mandaunya jadi, dibuatlah pegangannya dari tanduk rusa, atau kayu. Yang dari tanduk rusa, warnanya putih, sedang yang dari kayu, berwarna hitam mengkilat. Tapi warna hitam itu bukan warna aslinya, juga bukan cat atau semir sepatu. Melainkan karena kayu itu sudah direndam dalam lumpur selama dua hari dua malam, kemudian direbus dengan pucuk daun rambutan selama dua hari dua malam pula. Selanjutnya kayu dan sisa-sisa daun rambutan itu dikubur lagi dalam lumpur selama seminggu. Dengan demikian warna hitam itu betul-betul meresap sampai ke dalam, dan tidak dapat terkelupas. Penggunaan daun rambutan itu boleh dikata sudah agak 'modern', sebab pohon buah ini memang dapat ditanam di pekarangan. Sedang resep yang lebih 'asli' - yang masih digunakan pula dalam penghitaman rotan untuk kerajinan anyaman di hilir sungai Kapuas - adalah daun tapanggang yang tumbuh liar di hutan. Sarung Mandau Tahap berikutnya setelah pegangan mandau selesai diukir dengan motif taring-taring binatang buas, adalah pembuatan kumpang alias sarungnya. Kumpang itu dibuat dari kayu tertentu, antara lain kayu sawo dan diukir dengan motif khas daerah Barito Timur, yakni berbentuk naga kembar. Sebelumnya kedua bilah sarung atas dan bawal 'diikat' dengan simpul anyaman yang bercorak 'jantan' atau 'betina'. Banyaknya dan jenis simpul anyaman yang mengikat sarung mandau itu, tergantung pada panjang mandau dan ketinggian ilmu pemakainya Mandau yang kecil seperti yang lazimnya dibawa dalam koper pemuda-pemuda Barito Timur di perantauan, hanya diikat dengan sepasang simpai (simpul) jantan dan betina. Namun mandau seorang pendekar di zaman bahari - yang bisa juga dipesan di masa kini untuk hiasan dinding bisa dililiti sampai 4 simpai jantan karena panjangnya « meter lebih. Sarung mandau ini, yang di ujungu-jungnya ditempeli hiasan tanduk menjangan pula, tidak lengkap kalau tidak disertai sarung anak pisau bergagang kayu atau gading. Kemudian dipolitur, supaya wama asli kayu, tanduk dan simpai rotan (yang juga dihitamkan menurut resep tradisionil Dayak tadi), tambah menonjol. Paling akhir adalah memberi hiasan dengan rumbai-rumbai di pegangan mandau maupun di sarungnya. Di zaman bahari, mandau para pendekar dihiasi rambut kepala musuh-musuh yang sudah dipancungnya, plus taring dan kuku cakar binatang buas yang sudah dibunuhnya. Namun di masa kini, pegangan mandau bikinan Hasan Pandai itu cukup dihiasi rumbai jannut kambing bandot yang berwarna kuning keemasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus